Minggu, 29 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 3/3

[sambungan]

3. Bulan Ramadhan juga melahirkan sebuah tradisi: buka bersama. Sejatinya ini adalah suatu yang hal positif. Orang bisa bersilaturahmi, kemudian melakukan ibadah secara berjamaah. Tetapi yang kita lihat, terutama di mall atau restoran, program makan-makan menjadi acara utama. Shalat maghrib, yang jelas wajib, bukan bagian dari agenda, malah menjadi terlewat. Dan ketika acara makan dan ngobrol berlangsung lama, orang kemudian merasa sudah terlalu ngantuk dan capai untuk tarawih.
Walhasil, ada kewajiban yang diterlantarkan, dan ada peluang ibadah yang terbuang percuma.

Ketiga contoh di atas menunjukkan bagaimana masih jauhnya kita dari makna yang seharusnya dipetik dari Ramadhan. Maka bokeh jadi benarlah sabda Nabi bahwa banyak yang puasa tetapi hasilnya hanya haus dan lapar, tidak ada yang lain.
Sudah saatnya kita keluar dari golongan “banyak” ini.

Sabtu, 28 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 2/3

[sambungan]

 2. Bulan Ramadhan adalah juga sarana mengintensifkan ibadah. Tetapi tampaknya kita keliru menyamakan “intensif” itu dengan “ramai”, bukan “giat”. Kita lihat misalnya shalat tarawih. Jelas, masjid-masjid di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai. Orang berbondong-bondong menunaikan ibadah tarawih. Yang kita lihat lagi adalah bagaimana para imam memimpin shalat dengan kecepatan luar biasa. Surat al-Fatihah dibaca dengan kecepatan turbo: dari awal hingga akhir dalam satu tarikan nafas, tanpa jeda di antara ayat-ayatnya. Kemudian perpindahan gerakan pun tidak kalah cepatnya. Makmum jumpalitan untuk bisa mengimbangi sang imam, tanpa sempat membaca bacaan shalat. Apalagi menghayati isi dan maknanya.

Pengeras suara di mesjid pun ramai saling bersahutan. Seolah-olah masjid saling berlomba untuk melihat siapa yang paling ramai dan paling cepat selesai.

Shalat adalah dialog antara kita dengan Allah. Begitukah kita melakukan percakapan dengan Pencipta kita? Dengan teriak-teriak dan tergopoh-gopoh?

[bersambung]

Jumat, 27 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 1/3

1. Bulan Ramadhan adalah saat kita menahan diri dari makan dan minum. Tetapi paradoksnya, justru konsumsi makanan di bulan puasa bisa jadi lebih banyak daripada di bulan-bulan lain. Kita lihat hidangan-hidangan lezat bermunculan di bulan puasa. Kemudian beberapa harga bahan makanan malah meningkat, yang menunjukkan naiknya permintaan di pasar. Pasar dan swalayan malah jadi makin ramai, apalagi menjelang lebaran.

Dengan kata lain, kita hanya menahan diri di siang hari, tetapi melampiaskan diri di saat lainnya. Jadi volume konsumsi kita sebenarnya tetap (atau malah meningkat) hanya jadwalnya saja yang berubah. Sarapan atau makan siang bergeser ke sahur, makan malam ke maghrib.

Ramadhan sebagai wahana latihan menguasai diri, tampaknya menjadi terlewatkan. Kita tetap tidak bisa menahan diri, menahan emosi, atau menahan amarah.

[bersambung]

Rabu, 25 Juli 2012

Keburukan muslim Indonesia: shaf shalat renggang

Nabi memerintahkan kita untuk merapatkan shaf di saat shalat. Entah kenapa, kita umat Islam Indonesia malas melaksanakan ini. Padahal ini termasuk perintah yang sangat gampang dilakukan. Cukup bergeser agar badan kita rapat ke jamaah yang lain. Tidak harus lari-lari, mengeluarkan harta, dsb.

Kita lihat di banyak mesjid, para jamaah berdiri dengan jarak tertentu ke jamaah sebelahnya. Seolah-olah ogah atau tabu untuk menempel ke badan dia.

Lebih menyedihkan lagi kalau kita bawa sajadah. Sajadah yang lebar ini membuat kita memiliki jarak dengan teman di sebelah. Dan paling menyedihkan kalau para jamaah membawa sajadah masing-masing, dan menaruhnya dengan jarak tertentu ke sajadah sebelahnya. Sudah renggang karena lebar sajadah, ditambah renggang pula oleh jarak antar sajadah.

Saya pernah shalat berjamaah bersama komunitas Bosnia, Turki, Arab, atau bercampur dengan muslim lain dari Kosovo, Mauritania, dll. Dan memang, kita kalah jauh dari mereka. Buat sebagian dari mereka, saling menempel saja belum cukup, tapi sudah harus mirip berdesak-desakan. Bahu menempel bahu, kelingking kaki menempel kelingking kaki.

Ada perkembangan bagus di tanah air. Para imam mulai mengingatkan mamum untuk merapatkan shaf. Sayangnya terkadang tidak jelas, bagaimana cara rapatnya. Ada yang geser ke kiri, ada yang ke kanan. Ujung-ujungnya tetap ada celah. Yang dari belakang mau mengisi celah yang di depan jadi ragu kalau celahnya terlihat terlalu sempit.

Barangkali ada baiknya mengusulkan para jamaah agar mengambil mamum sebelah kanannya sebagai patokan. Selama kita tidak nempel ke mamum sebelah kanan, kita harus geser ke arah dia. Kalau semua bergeser seperti ini, tempat kosong akan muncul di paling kiri. Baru di sini mamum yang dari belakang maju ke depan. Dan seterusnya.

Selasa, 24 Juli 2012

Rukya, Hisab, dan Konsitensi 2/2

[sambungan]

Biki, di pihak lain, percaya penuh bahwa pergerakan bumi, bulan, dan matahari sudah bisa dihitung. Ilmu astronomi, bagi Biki, sudah lama mampu menentukan kapan bulan baru muncul, kapan matahari berada di atas ubun-ubun, kapan dia tenggelam, dan kapan fajar mulai menyingsing. Perhitungan, menurut Biki, tidak tergantung pada keadaan cuaca mendung, hujan, gelap, dan terlepas dari subjektifitas pengamatan panca indra. Karena itu Biki tidak merasa bermasalah dengan menggunakan kalender dan jadwal shalat untuk menentukan ritme ibadahnya.

Siapa yang benar, Amir atau Biki?
Boleh jadi dua-duanya. Karena masing-masing memiliki dasar yang mereka pegang teguh

Bagaimana dengan kita?
Kemungkinan kita bukan di pihak yang benar. Mengapa? Karena kita tidak konsisten, alias plin-plan. Kita membedakan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dari yang lain. Di sini kita hanya sreg dengan rukya. Tapi untuk penentuan nisfu sya'ban, 10 Dzulhijjah, hari-hari tasyrik (dan tanggal lain seperti 1 Muharram, 17 Rabi'ul-awal, dsb.) kita oke-oke saja dengan kalender. Untuk 'Idl-Adha malah kita merasa aneh kalau beda dengan di Mekkah, tapi untuk puasa tidak merasa janggal jika berbeda dengan Saudi Arabia.

Malah, setelah ber-rukya untuk penentuan 1 Ramadahan, kita beralih ke "jadwal imsakiah" untuk menentukan buka puasa. Jadwal ini jelas hasil hitungan, bukan pengamatan mata. Bukan hanya itu, sering kita malah mengandalkan adzan dari tv atau radio untuk mulai buka puasa. Siapa jamin bahwa stasiun tv/radio melantunkan adzan pada saat yang tepat? Begitu juga adzan di mesjid, yang juga mengandalkan jadwal, siapa jamin bahwa jam di mesjid akurat?

Dan jujur saja, ketika kita kembali ke hari-hari biasa, kita akan lihat jadwal shalat untuk menentukan kapan kita akan mulai shalat.
Atau adakah di antara kita yang mengecek letak matahari di atas kepala, atau memeriksa panjang bayangan kita?

Amir dan Biki, dua-duanya boleh jadi benar. Biarpun berbeda, mereka konsiten.
Kita ... tampaknya hanya memilih-milih apa yang kita sukai.

Senin, 23 Juli 2012

Rukya, Hisab, dan Konsistensi 1/2

Setiap tahun kita memiliki satu ritual yang selalu berulang: berselisih soal penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Satu pihak menentukan terlihatnya bulan baru berdasarkan pengamatan mata (rukya); pihak lain mengandalkan perhitungan astronomi (hisab). Terkadang temuan kedua pihak cocok, tapi tidak jarang juga berbeda. Masing-masing bersikukuh bahwa metodenya yang (paling) benar.

Mari kita namakan perwakilan dari kedua kubu ini Amir dan Biki.

Amir mengandalkan rukya karena ingin mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Rukya dilakukan Amir bukan hanya menjelang Ramadhan dan Syawal, tapi juga menjelang bulan-bulan lain: seperti Dzulhijjah, untuk menentukan 'Idl-Adha di tanggal 10 bulan itu, dan hari-hari tasyrik sesudahnya; serta menjelang Sya'ban, untuk menentukan pertengahan bulan yang disebut nisfu sya'ban.

Bukan hanya itu, Amir menentukan saat waktu dhuhur dengan benar-benar memeriksa apakah matahari sudah benar-benar di atas kepala. Kemudian memeriksa apakah bayangan benda sudah sama panjang dengan tinggi benda itu; ini untuk menentukan waktu ashar. Juga melihat apakah matahari sudah menghilang di balik ufuk; ini untuk menentukan waktu maghrib. Bahkan untuk penentuan awal shubuh, alias batas akhir sahur, Amir menggantung benang hitam dan putih di kamar gelap untuk melihat apakah mata telanjang sudah bisa membedakan keduanya.

Amir mengakui, bahwa terkadang metodenya tidak jalan: misalnya ketika hari mendung, sedang hujan, awan gelap menutupi langit, atau ketika dia pindah dari ruangan terang ke ruangan gelap. Pengamatan matanya akan terganggu. Tetapi Amir yakin, itulah juga yang dialami Nabi dan para sahabatnya di zaman dulu; dan dia ingin meneladaninya.

[bersambung]

Minggu, 22 Juli 2012

Shalat sebagai doa 3/3

[sambungan]

Kurangnya kita sadar bahwa shalat itu doa, terkadang membuat kita mengambil kesimpulan bahwa hanya ada dua tempat untuk berdoa: ketika sujud akhir, dan setelah salam.

Tak heran kalau kita lihat ada orang yang sujud akhirnya lama sekali. Tapi bisa mengherankan kalau dia lebih khusyu di sujud itu daripada di saat baca al-Fatihah atau bacaan tahiyat. Juga mengherankan kalau di shalat berjamaah ada mamum yang masih sujud sementara imam sudah di tahiyat akhir. Kita lupa bahwa mamum harus mengikuti imam.

Doa sesudah shalat. Ini memang dianjurkan. Tetapi seperti kasus di atas, kadang-kadang orang lebih khusyu di acara doa ini daripada di shalatnya sendiri. Boleh jadi malah acara doa ini, dengan wirid dan shalawat sebelumnya, lebih lama dan intensif daripada shalatnya.

Mudah-mudahan renungan ini bisa mengingatkan kita:
- bahwa shalat adalah sarana meminta;
- ketika meminta, tentunya kita melakukannya dengan sungguh-sungguh dan penuh harap;
- tentunya kita tidak akan menomer-duakan sarana utama dengan malah memprioritaskan sarana tambahan.

Sabtu, 21 Juli 2012

Shalat sebagai doa 2/3

[sambungan]

Sering kali kita tidak menyadari adanya doa-doa tadi.

Pertama, mungkin karena kita tidak tahu makna dari apa yang kita baca. Bagi kita al-Fatihah dan bacaan lainnya tak lebih dari sesuatu yang wajib dilafazhkan, sesuatu yang harus dibaca agar kita merasa shalat kita jadi sah.

Yang kedua, kita sering lupa bahwa di dalam shalat kita meminta sesuatu. Sering kita lihat shalat itu sebagai sebuah kegiatan rutin belaka, dengan bacaan yang sudah dipatok.

Yang ketiga, dan ini boleh jadi yang paling bahaya: Kita tidak merasa perlu mengajukan permintaan itu. Mengapa ini bahaya? Berperasaan seperti ini menyiratkan bahwa kita sudah menganggap diri kita cukup, mapan, kaya, benar, bersih,  tak berdosa, ... sehingga tidak perlu apa-apa lagi dari Sang Khaliq.
Na'udzubillah min dzalik.

[bersambung]

Jumat, 20 Juli 2012

Shalat sebagai doa 1/3

Di dalam shalat, ada beberapa permintaan yang kita tujukan kepada Allah.

Pertama, setiap kali kita berdiri dan membaca al-Fatihah, kita minta ditunjuki ke jalan yang lurus: shirat al-mustaqim.

Kedua, ketika duduk di antara dua sujud. Kita mengajukan banyak permintaan: mulai dari minta ampun, petunjuk, hingga rezeki.

Setelah itu, di tahiyat awal, kita mohon salam, rahmat, dan barakah untuk Nabi. Ini adalah wujud kecintaan kita kepada beliau.

Masih di tahiyat awal, kita juga minta salam untuk diri sendiri. Dan karena kita juga makhluk sosial, juga untuk semua yang beribadah dengan shalih.

Di tahiyat akhir, kita mohon lagi shalawat dan barakah untuk Nabi dan keluarganya.

Terakhir, di bagian salam, kita memohonkan salam dan rahmat untuk semua yang berada di sebelah kanan kita, dan tak lupa juga untuk semua yang berada di sebelah kiri kita.

Kalau kita lihat, cukup banyak permintaan kita di setiap shalat. Ada yang untuk diri sendiri, untuk Nabi, keluarga beliau, semua pihak yang beribadah dengan shalih, dan akhirnya untuk semua di sekeliling kita.

[bersambung]

Kamis, 19 Juli 2012

Daftar Renungan

Shalat sebagai doa (1/3)
Shalat sebagai doa (2/3)
Shalat sebagai doa (3/3)
Rukya, Hisab, dan Konsistensi (1/2)
Rukya, Hisab, dan Konsistensi (2/2)
Keburukan muslim Indonesia: shaf shalat renggang
Kehilangan makna Ramadhan (1/3)
Kehilangan makna Ramadhan (2/3)
Kehilangan makna Ramadhan (3/3)
BBM-an di saat khutbah
Kita semua masih anak sekolah
Menyaksikan lahir dan berkembangnya bidah
Khutbah mubazir (0)
Khutbah mubazir (1)
Khutbah mubazir (2)
Khutbah mubazir (3)
Khutbah mubazir (4)
Khutbah mubazir (5)
Khutbah mubazir (6)
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 1
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 2
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 3
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 4
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 5
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 6
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 7
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 8
Mencari kepuasaan dunia 1
Mencari kepuasaan dunia 2
Mencari kepuasaan dunia 3
Mencari kepuasaan dunia 4
Mencari kepuasaan dunia 5
Mengucapkan selamat Hari Natal: sebuah cerita dan renungan
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 1 (sabun & odol)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 2 (membukukan Al-Quran)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 3 (pengacara)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 4 (tasbeh)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 5 (celana panjang)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 6 (korupsi)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 7 (penutup)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan (tambahan)
Membaca lafazh tak paham arti
Tradisi khas umat Islam Indonesia 1: sarung dan peci
Tradisi khas umat Islam Indonesia 2: puji-pujian