Sabtu, 26 Januari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 2

[... sambungan]

2. Mari beralih ke yang lebih "berat". Pada zaman Nabi, Al-Quran tidak dibukukan, tapi dihafalkan. Kalaupun ada catatan-catatan berisi ayat Al-Quran, bentuknya terpencar-pencar, dan mediumnya tidak seragam: ada tulang, kayu, kain, dsb. Perlu dicatat bahwa pada saat itu umat Yahudi dan Nasrani secara umum sudah mengkodifikasi kitab suci mereka. Taurat, dan naskah Ibrani lainnya, disimpan dalam bentuk gulungan; Injil, atau barangkali tepatnya "injil- injil", serta naskah Nasrani lainnya, biasa ditulis di lembaran-lembaran papirus.

Riwayat menyebutkan bahwa ketika Khalifah Utsman hendak mengkodifikasi Al-Quran, sempat muncul tantangan karena ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun akhirnya kehendak Utsman terlaksana; Al-Quran dimushafkan. Bentuknya tidak gulungan seperti naskah Taurat, tetapi lembaran seperti kebiasaan Nasrani.

Apakah memushafkan Al-Quran ini termasuk tasyabbuh?

Beberapa abad kemudian, ketika umat Islam sudah terbiasa membukukan Al-Quran, Johann Gutenberg menciptakan mesin cetak. Tidak lama setelah itu umat Nasrani mulai beralih dari menyalin kitab suci  ke mencetak.

Bagaimana dengan umat Islam?
Kita perlu waktu agak lama hingga akhirnya terbiasa dengan Al-Quran cetakan, yang salah satunya ada di rumah kita.

Apakah mencetak Al-Quran tasyabbuh?

Sekarang bagaimana di zaman digital?
Lagi-lagi kita pun berada di posisi meniru. Ketika umat lain sudah menyimpan kitab sucinya dalam bentuk dan medium digital, umat Islam baru belakangan mencontoh ini.

Apakah ini juga tasaybbuh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar