Jumat, 12 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 8

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

8. Makmum
Seperti sudah disebut sebelum ini, sudah menjadi kewajiban makmum untuk mengikuti imam. Dalam hal makmum masbuk (terlambat) sering kita lihat bahwa makmum lihat-lihat dan pilih-pilih kapan dia mulai mengikuti imam.

Biasanya dia memilih untuk masuk barisan ketika imam berdiri di rakaat baru. Dia enggan bergabung di saat ruku, itidal, atau sujud. Dia merasa rugi kalau melakukan rukun shalat tetapi tidak dihitung rakaat. Dia melihat shalat dari perhitungan untung rugi.

Dia lupa bahwa gerakan dan bacaan shalat bukanlah hal yang sia-sia. Semuanya ada manfaatnya. Harusnya dia malah senang karena bisa membaca beberapa doa lebih banyak daripada biasanya.

Begitu juga di luar shalat. Ada individu yang pikir-pikir, lihat-lihat, atau ngitung-ngitung sebelum bergabung ke barisan umat. Menyedihkannya, jika setelah lihat-lihat, dia tidak merasa sreg, dia malah membuat barisan sendiri.

Persis seperti sebagian makmum yang lebih memilih membentuk jamaah baru daripada bergabung ke jamaah yang sudah ada.

Senin, 08 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 7

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

7. Makmum
Sudah menjadi kewajiban makmum untuk mengikuti imam; tentunya selama imam melakukan rukun shalat dengan benar. Konsekwensinya: makmum tidak boleh mendahului imam, tidak boleh shalat dengan rukun yang berbeda.

Sayangnya terkadang kita lihat makmum yang misalnya sudah mulai ruku sebelum imam. Mungkin si makmum ingin terlihat bahwa dia kenal surat yang dibaca imam, dan tahu kapan akhir suratnya. Dia lupa bahwa shalat bukanlah sarana pamer.

Ada juga makmum yang terlihat yakin bahwa imam setelah rukun yang satu, akan melakukan rukun yang lain. Makmum seperti ini terlihat dari gerakannya yang cepat, dan sudah bergerak sebelum imam sempurna menyelesaikan rukunnya.

Dia mungkin lupa bahwa imam bisa jadi akan baca qunut, kalau dianggap perlu, atau langsung sujud setelah membaca ayat sajdah.

Kalau makmum yang tidak sinkron biasanya terjadi di sujud terakhir. Ada yang punya agenda sendiri, dan sujud lebih lama. Tampaknya karena dia menggunakan kesempatan itu untuk membaca doa pribadinya.

Untungnya yang sujud menyendiri ini tidak banyak. Bayangkan kalau semua makmum sujud akhir sendiri-sendiri, ada yang sebentar, lama, lebih lama, lebih lama lagi ... Di mana berjamaahnya?

Yang agak lebih banyak adalah makmum yang "ngotot" menyelesaikan bacaan shalat. Maksudnya, ketika imam pindah rukun, makmum belum selesai dengan bacaannya. Si makmum, bukannya mengikuti imam, malah menghabiskan dulu bacaan, dengan terburu-buru, baru kemudian mengejar ketinggalannya. Dia lupa bahwa sudah menjadi tugas imam untuk mewakili makmum, dan kita tinggal mengikutinya.

Bagaimana di luar shalat? Ya tampaknya tidak jauh beda. Kita tidak senantiasa seiring dengan pemimpin. Ada di antara kita yang merasa lebih handal daripada pemimpin, atau di lain pihak sok merasa yakin apa maunya pemimpin. Di sisi lain adapula yang melangkah berbeda, tidak sejalan dengan pemimpin.

Benar bahwa pemimpin bisa keliru, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkannya, serta pemimpin wajib mengkoreksi kesalahannya. Sama seperti di dalam shalat.

Ok, harus diakui, keadaan di luar shalat bisa lebih rumit dan tidak sejelas rukun shalat. Tetapi mudah-mudahan, kalau kita di dalam shalat makin kompak, di luar shalat pun demikian.

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 6

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

6. Makmum
Sebelum ini sudah kita bahas masalah pentingnya merapatkan shaf shalat. Alhamdulillah, ini sudah makin diperhatikan, dan kita lihat bagaimana imam mengingatkan makmumnya tentang ini.

Sayangnya, tidak jarang rapatnya shaf hanya muncul di rakaat pertama saja. Ketika kita berdiri di rakaat kedua, kita merasa sudah ada celah di antara bahu kita dan bahu makmum sebelah. Dan sudah ada jarak pula di antara jari kaki kita dengan jari kaki kawan sebelah. Kaki yang di rakaat pertama masih merenggang keluar, sekarang sudah menciut ke dalam.

Ini mungkin gambaran kekompakan kita sebagai umat: tidak persisten. Kita hanya erat bersatu di awal-awal saja, ketika baru diingatkan. Setelah itu kita kembali menjadi individu-individu yang tidak peduli dengan persatuan umat.

Barangkali ada baiknya imam, sebelum shalat, menegaskan bahwa rapatnya shaf harus dijaga hingga ke rakaat terakhir. Kalau ini bisa dicapai, mudah-mudahan menjadi pembuka jalan bagi persistensi kekompakan umat.

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 5

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

5. Makmum
Nabi memerintahkan agar makmum membuat shaf yang rapat. Ini mencegah munculnya penggoda yang bisa mengisi celah di antara kita, dan membuat shalat tidak khusyu.

Dalam prakteknya, ini adalah hal yang akut di Indonesia. Orang tampak seolah merasa tidak nyaman kalau bersentuhan dengan makmum sebelahnya. Bahkan, antar sajadah pun suka diberi jarak, padahal sajadah sudah lumayan lebar.

Walhasil ini sangat jauh dari apa yang diajarkan Nabi.

Boleh jadi ini mencerminkan sikap kita terhadap sesama umat Islam. Kita enggan merapatkan barisan, masing-masing merasa lebih nyaman dengan diri sendiri, kekompakan kita rapuh, dan kita sangat mudah diselipi pihak yang memang lebih senang jika kita tidak bersatu.

Sudah sangat sering didengungkan pentingnya persatuan umat, kekompakan pengikut Nabi, ukhuwah Islamiyah. Tampaknya, untuk menuju ke arah sana kita juga harus memulai dari rapatnya shaf shalat kita

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 4

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

4. Imam
Ada trend membaik belakangan ini: sebelum shalat, para Imam mengingatkan perlunya merapatkan dan meluruskan shaf. Ada juga yang menambahkan anjuran untuk mematikan handphone.

Sebagian imam lain tapi tetap di tradisi lama: setelah qamat, langsung saja ke tempat imam. Paling ngelirik dikit ke belakang, tanpa komentar apa-apa. Begitu saja.

Begitu juga para pemimpin kita. Begitu berada di depan, seperti tak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Baru kalau mau ada pemilihan lagi, turun langsung ke pasar, sok ngobrol sama orang di pinggir jalan, pura-pura bincang-bincang dengan rakyat kecil. Setelah itu? Mana mau panas-panasan masuk ke gang sempit ...

Sudah waktunya mengubah kebiasan ini.

berlanjut

Jumat, 05 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 3

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

3. Imam
Bolehkah makmum bersungut-sungut tentang imam? Harusnya tidak. Makmum harusnya ikhlas dengan imamnya.

Tapi memang terkadang, menggerutui imam tak terhindarkan. Misalnya karena imam shalatnya luar biasa panjang, seperti tidak peduli bahwa di antara makmum mungkin ada yang sedang tidak begitu fit, jadi tidak tahan berdiri lama-lama. Atau ada yang sudah berumur sehingga hanya bisa ruku sebentar. Atau ada yang sedang cape banget, hingga perlu segera istirahat.

Ini misalnya muncul karena imam membaca surat yang panjang, atau banyak ayat. Ini sangat akut ketika Pak Imam melantunkan surat dan ayat itu dengan melodi tertentu yang mau tak mau membuat para makmum jadi berpikir: "Ini Pak Imam mau pamer bisa ngaji, atau apa?" Hilang deh khusyu, makmum harus nahan pegel, sambil sedikit ngedumel.

Ini juga dunia para pemimpin kita. Sebagian tampak seolah tidak peduli dengan keadaan rakyatnya. Selama dia masih merasa enak makan, enak tidur, enak di jalan, tak ada terpikir apakah rakyat merasakan hal yang sama. Sebagian malah mungkin lebih senang melantun, melagu, dan berkaraoke daripada introspeksi apakah rakyat sudah puas dengan dia.

berlanjut

Kamis, 04 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 2

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

2. Imam
Imam adalah pemimpin. Sebagai pemimpin dia memberikan contoh atau teladan. Tidak heran kalau dalam shalat berjamaah kita mencontoh atau mengikuti gerak-gerik imam.

Sayangnya, terkadang ada imam yang tidak memberi teladan di satu hal: bersegera ke mesjid. Di sebagian mesjid, jamaah sengaja tidak memuai shalat karena menunggu imam. Dan ada imam yang tampaknya menikmati privilege ini. "Ah santai aja ke mesjidnya, toh ditungguin ini."

Ini juga terjadi di luar shalat. Para pemimpin kita seolah tak merasa perlu memberikan teladan. Apakah itu dalam hal hidup sederhana, naik kendaraan umum, berbaur dengan masyarakat, dsb. Mereka seolah berpandangan: "Aku udah di posisi istimewa, punya hak-hak istimewa, ngapain lagi mesti susah-susah kayak rakyat kecil? Pemimpin harus hidup beda dong dibanding rakyat."

Tampaknya itulah profil imam dan pemimpin kita. Menyedihkan? Ya.

berlanjut

Rabu, 03 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 1

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

1. Imam
Idealnya, yang jadi imam itu yang paling dalam ilmu agamanya, yang paling bagus bacaan shalatnya, yang paling mengerti adab menjadi imam. Kenyataannya, yang jadi imam ya yang memang biasa jadi imam. Kalau tidak ada dia, ya kita lihat-lihat yang penampilannya paling ok. Kita lihat pecinya lah, baju kokonya, janggutnya, atau surbannya.

Nah dalam memilih pemimpin, kitapun cenderung begitu. Harusnya kita pilih tokoh yang handal, piawai, cerdas, bijaksana, dan beribu sifat baik lainnya. Dalam prakteknya, kita suka-suka cuma melihat apakah si calon berasal dari keluarga yang biasa memimpin, apakah dia keturunan pemimpin, atau apakah dia punya trah pemimpin. Kalau kriteria itu tidak masuk, kita lihat penampilannya: tampangnya, cara senyumnya, caranya berpakaian, dsb.

Dengan cara memilih seperti itu, tidak heran kalau para pemimpin kita hanya terdiri dari dua jenis: pertama, yang nama belakangnya sama atau mirip dengan tokoh zaman dulu; kedua, artis.

berlanjut

Selasa, 02 Oktober 2012

Khutbah mubazir (6)

Khutbah tentunya diisi dengan ayat dan hadits dalam bahasa Arab. Tujuan utamanya bukan untuk memperlihatkan bahwa khatib bisa berbahasa Arab, tetapi untuk selalu menunjukkan ayat dan hadits dalam teks aslinya.

Tapi terkadang kita juga dengar khutbah dengan dipenuhi bahasa Inggris. Self management lah, way of life lah, spiritual quotience, dsb. dsb. Ini mungkin karena khatibnya terlalu lama mondok di Inggris, atau dia merasa khutbahnya jadi keren dan berkelas kalau ditaburi istilah-istilah asing.

Jamaah pun terbagi dua: ada yang bingung gak ngerti, dan akhirnya gak nangkep; ada juga yang terpaksa senyum-senyum dalam hati sambil berpikir: "Ah temen gua yang kuliah tahunan di Inggris aja nggak sampe seheboh gitu ..."

Jadi Pak Khatib, bicara pakai bahasa biasa saja deh ya Pak, bahasa yang bisa kami fahami. Kami ingin isi khutbah Bapak, bukan mendengar orang pamer kemampuan berbahasa.

Khutbah mubazir (5)

Salah satu fenomena di saat khutbah adalah jamaah yang ngantuk, melamun, atau tidak konsens. Ini terutama kalau khutbahnya monoton, tidak menarik, terlalu panjang, terlalu lama, atau tidak jelas isinya.

Sebagian khatib menggunakan kiat ini untuk menghadapi itu: bicaranya pelan dan lembut, tapi tiba-tiba keras dan meledak-ledak. Kemudian lembut lagi, dan keras lagi, dst.

Dalam beberapa khutbah, kiat ini berhasil. Misalnya ketika khatib menggambarkan lembutnya Nabi, kemudian disusul dengan bagaimana tegasnya beliau pada kaum musyrik.

Di beberapa khutbah lain tapi ini jadi lucu. Misalnya ketika nada keras ini muncul di saat bahasan tentang berapa besaran zakat pertanian untuk sawah tadah hujan. Tidak nyambung. Jamaah mungkin akan berpikir: "Lebay nih khatib."

Sebenarnya gonta-ganti nada ini tidak akan perlu kalau khutbahnya ringkas, tidak bertele-tele, dan isinya menyentuh jamaah. Khutbah seperti ini akan didengar dan diresap, tanpa Pak Khatib harus berbicara seperti pembaca puisi.

berlanjut