Jumat, 28 September 2012

Khutbah mubazir (4)

Kita terkadang mendapatkan khatib yang menyampaikan khutbah dari buku. Buku tinggal dibeli dari toko, khatib tinggal baca satu bab, dan sisanya buat khutbah berikutnya. Praktis, tidak repot.

Problemnya, isi khutbah suka-suka tidak nyambung dengan apa yang perlu didengar jamaah. Misalnya, baru saja RT sebelah tawuran dengan RT tetangganya, tapi khatib dengan tenangnya berbicara tentang keutamaan shalat malam.

Bukan berarti shalat malam tidak penting, tapi tawuran antar warga gara-gara hal sepele adalah bentuk kezhaliman antar umat. Pemuka agama perlu mengingatkan warganya akan mudharatnya bentrokan seperti itu. Jika tidak dibahas, jamaah mendapat kesan bahwa agama tidak ada kaitannya dengan itu, agama tidak punya solusi untuk itu, pesan agama menjadi tak ada aplikasinya untuk hal sehari-hari, agama hanya ada di awang-awang, tidak membumi.

Contoh lain, baru saja diberitakan media bahwa Kementrian ABC masuk top ten dalam hal penyelewengan anggaran. Tema khutbah di kantor ABC? Adab membaca Quran.

Hebat, ketika uang rakyat dicuri tiap hari di sana (penggembungan anggaran, kuitansi akal-akalan, pemakaian fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, dsb.), khatib seolah menganggap bahwa agama tak perlu peduli dengan semua itu.

Contoh lain, yang selalu ada tiap tahun, adalah pada saat khutbah 'Idl Fitri yang dihadiri pejabat pemerintah; apakah itu presiden, gubernur, bupati, dsb. Banyak khatib jadi merasa wajib untuk bicara tentang "pembangunan". Dan ini adalah bagian yang paling membosankan buat jamaah. Bukan hanya karena kata-katanya "tingkat tinggi" alias susah dicerna, jamaah pun bertanya: Apa hubungannya sama saya? Apa aplikasinya di perilaku saya sehari-hari?

Walhasil khutbah-khutbah seperti ini mubazir, karena tidak kena ke kebutuhan real jamaah. Baik kebutuhan yang mereka sadari, maupun kebutuhan yang harus diingatkan kepada mereka.

Jadi para khatib yang terhormat, khutbahilah kami dengan apa yang akan kami perhatikan. Jejeli kami dengan apa yang akan membuat kami menjadi rahmat bagi sekeliling kami.

berlanjut

Rabu, 26 September 2012

Khutbah mubazir (3)

Kita terkadang melihat ada spanduk dibentang di depan kelurahan, kantor camat, bupati, atau gedung pemerintah lainnya. Adakah kita ingat isi-isinya? Boleh jadi tidak. Mengapa? Barangkali karena bunyinya seperti ini: "Dengan semangat Sumpah Pemuda mari kita tingkatkan persatuan dan kesatuan".

Kalimatnya baik, isinya bagus, bahasanya tidak keliru. Tapi mengapa kita tak pernah "nangkep" isinya? Malah membacanya saja ogah.

Kalimat di atas adalah contoh dari apa yang kita sebut "kalimat kosong", tidak ada isinya, kita tidak merasa tersapa oleh kalimat itu, kita tidak tahu apa maunya kalimat itu, kita tidak tahu hal konkret apa yang diminta oleh spanduk itu.

Walhasil, slogan-slogan tadi mubazir. Hanya buang-buang materi saja.

Di dalam khutbah pun kita tidak jarang mendengar kalimat seperti ini. Contohnya: "Mari kita tingkatkan iman dan takwa kita kepada Allah swt.", "Kita harus senantiasa menjunjung tinggi rasa cinta kita kepada Rasulullah.", "Ayo tegakkan terus ukhuwah islamiyah.", dsb.

Mengapa kalimat-kalimat di atas kosong padahal isinya benar? Karena pendengarnya tidak diberi tahu bagaimana dia konkretnya meningkatkan keimanan, tindakan nyata apa yang bisa menunjukkan kecintaan atas Nabi, kegiatan real apa yang mempererat ukhuwah.

Lain kalau khatib berucap: "Pak, kalo shalatnya masih suka sendiri, coba deh mulai bareng berjamaah sama yang lain.", atau "Bapak cinta Nabi? Ayo buktikan, contohi beliau, ayo shalat di awal waktu!", "Masa Bapak marahan sama yang baca usholi? Dia kan shalat. Apa nggak mendingan marahan sama yang nggak shalat?", dsb. Kalimat-kalimat seperti ini enak. Jamaah tahu apa yang harus dilakukan.

Jadi Pak Khatib, tolong beri kami hal yang konkret. Jangan yang kosong. Kalimat kosong lebih parah daripada krupuk. Krupuk, biarpun isinya angin, masih enak dimakan.


berlanjut

Khutbah mubazir (2)

Cerita yang bagus hanya memiliki satu kisah. Kalaupun ada kisah-kisah sampingan di dalammya, itu hanya cerita-cerita kecil yang menyertai kisah utama, dan berfungsi untuk makin menegaskan inti cerita.

Begitu pula khutbah. Khutbah yang bagus hanya memiliki satu inti pesan. Mungkin ada bumbu-bumbu yang menyertainya, tetapi pendengar akan menangkap apa inti pesan sang khatib.

Sayangnya terkadang khatib lupa hal ini. Awalnya dia bertutur tentang A, dan jamaah memahaminya. Tetapi kemudian, pembicaraan berlanjut ke masalah Z. Pesan A yang sudah mulai mengendap di qalbu jamaah, tergeser oleh Z, dan sedikit demi sedikit menghilang. Ini karena pesan Z terlalu cepat datang, di saat pesan A belum terpatri kokoh.

Keadaan makin kacau jika khatib malah menambah tema lain lagi. Lengkap sudah kebingungan jamaah. Awalnya dinasihati tentang ciri-ciri dosa besar, disambung dengan perjuangan umat Islam di Palestina, kemudian ditutup dengan adab membaca al-Quran.

Pesan mana yang masuk? Mungkin malah tak satupun. Mirip dengan orang yang disuapi makan. Ketika porsinya pas, itu akan membuatnya sehat. Tetapi jika "dijejelin" terus, mungkin semuanya malah akan dimuntahkan.

Jadi wahai para khatib, beri kami satu tema saja. Kalau Pak Khatib punya dua tema, sisakan buat khutbah berikutnya. Khutbah adalah sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada jamaah, bukan ajang unjuk kepiawaian.

berlanjut

Selasa, 25 September 2012

Khutbah mubazir (1)

Masalah yang barangkali sering muncul adalah bahwa khatib tampak seperti lupa waktu. Bahasa kerennya: tidak punya management waktu.

Manusia memiliki batasan berapa lama dia masih bisa konsentrasi mendengarkan sesuatu. Di atas limit ini, dia tidak akan menangkap tambahan informasi; malah, informasi yang sebelumnya sudah ditangkap, bisa jadi hilang.

Ada yang bilang limit ini di kisaran 20 menit. Besaran persisinya pasti berbeda untuk masing-masing orang. Tapi saya pikir 20 menit ini bisa jadi acuan buat khatib. Jika khatib bicara melewati limit ini, yang akan disampaikan bisa terbuang percuma. Malah ada risiko yang sudah dipaparkan sebelumnya jadi terpupus. Tidak heran kalau Nabi diriwayatkan hanya berkhutbah seperlunya saja: ringkas.

Masalahnya terkadang pembukaan khatib saja sudah 10 menit sendiri. Entah kenapa bershalawat saja bisa luar biasa lama. Kemudian ada kesan, sebagian khatib "gengsi" kalau khutbahnya pendek. Ini terlihat akut terutama di khutbah 'Id. Khatib seolah-olah merasa wajib membacakan khutbah berlembar-lembar. Pendengar khutbah jadi bertanya-tanya: ini mau beribadah dengan cara Nabi atau cari gengsi?

Mudah-mudahan para khatib bisa lebih memilih khutbah yang ringkas tapi melekat di hati kita, dibanding yang lama tapi tidak terserap oleh kita dan terbuang percuma.

berlanjut

Khutbah mubazir (0)

Khutbah Jumat, begitu juga khutbah 'Id, adalah sarana yang ideal untuk senantiasa mengingatkan umat atas ayat al-Quran dan hadits Nabi. Sayangnya, tidak jarang kesempatan ini terbuang percuma: apa yang disampaikan khatib tidak "nyangkut" di para pendengarnya. Khutbah menjadi mubazir.

Tentu ada beberapa penyebabnya, misalnya keadaan si pendengar, atau suasana di tempat khutbah. Tidak kalah menentukannya adalah faktor sang khatib sendiri.

Di sini, dan di posting selanjutnya, kita akan membahas beberapa contoh, bagaimana khatib menyia-nyiakan peluang untuk menyampaikan khutbah secara efektif, atau malah membuatnya mubazir. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

berlanjut