Senin, 23 Juli 2012

Rukya, Hisab, dan Konsistensi 1/2

Setiap tahun kita memiliki satu ritual yang selalu berulang: berselisih soal penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Satu pihak menentukan terlihatnya bulan baru berdasarkan pengamatan mata (rukya); pihak lain mengandalkan perhitungan astronomi (hisab). Terkadang temuan kedua pihak cocok, tapi tidak jarang juga berbeda. Masing-masing bersikukuh bahwa metodenya yang (paling) benar.

Mari kita namakan perwakilan dari kedua kubu ini Amir dan Biki.

Amir mengandalkan rukya karena ingin mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Rukya dilakukan Amir bukan hanya menjelang Ramadhan dan Syawal, tapi juga menjelang bulan-bulan lain: seperti Dzulhijjah, untuk menentukan 'Idl-Adha di tanggal 10 bulan itu, dan hari-hari tasyrik sesudahnya; serta menjelang Sya'ban, untuk menentukan pertengahan bulan yang disebut nisfu sya'ban.

Bukan hanya itu, Amir menentukan saat waktu dhuhur dengan benar-benar memeriksa apakah matahari sudah benar-benar di atas kepala. Kemudian memeriksa apakah bayangan benda sudah sama panjang dengan tinggi benda itu; ini untuk menentukan waktu ashar. Juga melihat apakah matahari sudah menghilang di balik ufuk; ini untuk menentukan waktu maghrib. Bahkan untuk penentuan awal shubuh, alias batas akhir sahur, Amir menggantung benang hitam dan putih di kamar gelap untuk melihat apakah mata telanjang sudah bisa membedakan keduanya.

Amir mengakui, bahwa terkadang metodenya tidak jalan: misalnya ketika hari mendung, sedang hujan, awan gelap menutupi langit, atau ketika dia pindah dari ruangan terang ke ruangan gelap. Pengamatan matanya akan terganggu. Tetapi Amir yakin, itulah juga yang dialami Nabi dan para sahabatnya di zaman dulu; dan dia ingin meneladaninya.

[bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar