Kamis, 14 Februari 2013

Tradisi khas umat Islam Indonesia 2: puji-pujian

2. Puji-pujian di antara adzan dan qamat

Waktu saya pertama kali shalat di mesjid RS Muhammadiyah Bandung, saya kaget. Setelah adzan selesai, qamat langsung dikumandangkan. Orang langsung mulai shalat berjamaah. Tampaknya di sana orang sangat memperhatikan bahwa shalat harus disegerakan, tanpa ditunda-tunda.

Ini membuat saya di shalat berikutnya menjadi bersegera. Begitu adzan terdengar, saya langsung ambil air wudhu, dan bergegas ke mesjid di RS ini. Ini karena saya tahu bahwa qamat akan langsung menyusul, dan shalat segera dimulai. Kalau tidak bergegas, ada kemungkinan masbuq.

Ini beda sekali dengan di kampung asal saya. Di antara adzan dan qamat bisa ada jeda sekitar lebih kurang 15 menit. Dan di jeda ini muncul tradisi pelantunan apa yang kita sebut "puji-pujian".

Puji-pujian ini semacam tembang, dengan ritme dan melodi tertentu. Liriknya bisa bahasa Sunda, Jawa, Melayu, atau campur. Temanya macam-macam: bisa shalawat atas Nabi, nasihat, wejangan, pengingat, hingga ke hafalan asmaul-husna atau rukun agama.

Karena sering kali berkumandang, orang mudah mengingatnya. Dan mudah pula untuk mewariskannya dari generasi ke generasi.

Dari mana asal-muasal tradisi ini? Boleh jadi awalnya, ketika orang menunggu imam datang, ada yang bershalawat, mengaji, atau melantunkan bacaan-bacaan yang pernah dipelajari dari ustadz, kiai, pesantren, dsb. Lama-kelamaan ada yang melakukannya bersama, hingga akhirnya seisi mesjid ikut melakukannya.

Tentu tradisi ini memiliki aspek positifnya, karena banyak pesan agama yang menjadi mudah diingat. Di sisi lain, juga memang tidak membuat orang bersegera melakukan shalat. Ketika adzan berkumandang, orang mungkin berpikir, ah masih ada puji-pujian, santai aja, gak bakal ketinggalan berjamaah.

bersambung

Senin, 11 Februari 2013

Membaca lafazh tak paham arti

Suatu sore sesudah maghrib saya berjalan pulang. Dari mesjid terdekat terdengar suara orang berdzikir. Lumayan kencang karena pakai pengeras suara.

Tetapi tunggu ... kok yang terdengar itu bunyi "laa ilaah", "laa ilaah", dan "laa ilaah". Saya yakin si pendzikir pasti mengucapkan juga "illallaah". Hanya saja begitu pelan dan tidak terdengar. Jadinya yang menggaungkan ke seluruh penjuru kampung adalah ucapan "laa ilaah".

Sadarkah si pendzikir bahwa orang sedang mendengar dia meneriakkan "tidak ada tuhan", "tidak ada tuhan", "tidak ada tuhan"?

Kemungkinan tidak, karena bukan rahasia lagi bahwa kita sering melantunkan sebuah lafazh tanpa pernah mencoba tahu apa maknanya. Kita merasa cukup untuk bisa menghafalnya, dan merasa mendapat pahala ketika membacanya.

Contoh lain adalah sebagian muadzin kita. Lafazh "hayya 'alash-shalah" dan "hayya 'alal-falah" terkadang terdengar "hayya laa shalah" atau "hayya lal-falah". Perbedaan di satu huruf ini tentu saja sangat mendasar, karena seruan "mari menuju shalat" dan "mari menuju kemenangan" bisa menjadi berbunyi lain. Kata "menuju" ('alaa) berubah menjadi "laa" yang berarti "tidak", "tidak ada", atau "jangan".

Tampaknya sudah saatnya kita sedikit-sedikit mencoba memahami apa yang kita baca. Kalau tidak, kita tanpa sadar malah melantunkan kebalikan dari apa yang kita niatkan.

Rabu, 06 Februari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 7

[... sambungan]

Di depan kita sudah melihat beberapa contoh yang, menurut saya, menunjukkan bahwa tema tasyabbuh harus dibahas hati-hati. Maksudnya: tidak serta merta mencap "tasyabbuh" segala apa yang berasal dari tradisi non-Muslim, atau yang kelihatannya seperti itu.

Sabun dan odol sudah menjadi bagian dari kita sehari-hari; sudah tak kita sadari kadar "luarnya". Al-Quran yang kita miliki di rumah, atau kita bawa ke mana-mana, dalam hal fisiknya memiliki kadar "peniruan" dari umat lain. Begitu juga tasbeh yang menjadi asesoris sebagian dari kita, adalah "jiplakan" dari umat lain. Kemudian kita juga lihat bahwa peranan pengacara adalah hal yang sama sekali baru di dunia hukum umat Islam.

Ada pula hal yang lebih rumit daripada kelihatannya: celana panjang misalnya. Kita sangka itu tradisi sebuah umat, padahal itu memiliki sejarah yang tidak pendek, dan tidak mudah lagi untuk mengatakan itu adalah "ciri khas" sebuah kaum tertentu. Dan akhirnya kita lihat pula bahwa dalam hal tertentu kita tampaknya memang harus menjiplak orang lain, seperti dalam hal pemberantasan korupsi, kebersihan, ketertiban, dsb.

Adakah contoh-contoh lain? Tentu saja. Sebagai penutup, kita ambil satu saja: mesjid. Di zaman Nabi saw. mesjid itu hanya berdinding, tanpa atap. Gereja atau sinagog memiliki atap; sebagian gereja memiliki kubah yang boleh jadi adalah cikal bakal kubah-kubah mesjid kemudian. Apakah memberikan atap atau kubah kepada mesjid adalah tasyabbuh?

Selasa, 05 Februari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 6

[... sambungan]

6. Di depan sudah kita lihat bagaimana Pak Ustadz kita menyebutkan "apapun" yang datang dari luar sebagai tasyabbuh. Pertanyaannya, bagaimana kalau hal dari luar itu lebih bagus? Apakah tidak boleh ditiru juga?

Contoh yang menarik adalah korupsi. Sudah sangat jelas bahwa negara-negara yang paling tidak korup adalah negeri-negeri non-muslim, seperti negara-negara Skandinavia, Singapura, atau Jepang. Sementara posisi umat Islam seperti kita di Indonesia berada di level memalukan.

Apakah meniru negara-negara "kafir" itu di dalam mencegah, memerangi, dan menindak korupsi termasuk tasyabbuh?

Juga dalam hal kebersihan, kedisiplinan, kepatuhan hukum, ketertiban, dsb. Apakah meniru Jerman atau Swiss dalam hal ini termasuk tasyabbuh juga?