Rabu, 15 Agustus 2012

Menyaksikan lahir dan berkembangnya bidah

Saya berada di bangku SD di tahun 1970-an. Di bulan puasa, saya terbiasa shalat tarawih di surau dekat rumah. Jumlahnya 23 rakaat, dan dilaksanakan langsung setelah shalat sunnah bada Isya.

Entah di tahun 70-berapa, saya lupa, muncullah seorang da’i muda. Dia aslinya dari dekat surau juga, pergi kuliah di IAIN Bandung, bahkan kemudian bisa menjadi dosen di sana. Dia membawa sesuatu yang baru buat kami penduduk kampung. Pertama, bahwa Nabi shalat tarawih jauh lebih sedikit, hanya 8 rakaat. Kedua, dia mempelepori adanya ceramah sebelum shalat tarawih di surau kami.

Pembaruan yang dia bawa tentu tidak begitu saja diterima. Pertama, dia harus meyakinkan bahwa dalil tentang 8 rakaat itu lebih kuat. Kedua, bahwa ceramah sebelum tarawih itu perlu dan membawa maslahat.

Saya teringat, waktu itu syiar Islam tidak semeriah sekarang. Hanya orang kampung yang mengucapkan assalamu ‘alaikum. Hanya perempuan desa yang mengenakan kerudung, dan itupun sekedar selendang yang dibelitkan di kepala. Hampir tak ada bangunan masjid di sekolah-sekolah, di kantor pemerintah, apalagi di kantor polisi atau markas tentara. Bagian agama di toko buku hanya berisi tata cara shalat, kumpulan khutbah Jumat, atau jampi-jampi mujarobat yang dipercaya bisa menghilangkan pelbagai penyakit. Islam seolah tereduksi ke shalat dan puasa saja, tanpa aplikasi lain di kehidupan sehari-hari. Bahkan shalat dan puasa pun tampak seperti kegiatan orang udik saja, bukan aktifitas orang kota, terpelajar, atau modern.

Keadaan jumud seperti ini tampaknya menggugah para cendekiawan Muslim untuk membuat terobosan agar banyak dakwah bisa sampai kepada umat. Shalat tarawih tampaknya dianggap sebagai sarana yang pas untuk itu. Betapa tidak, di saat shalat tarawih masjid menjadi lebih penuh. Yang biasanya tidak ke masjid, hadir di sana. Ini memang peluang dakwah yang sayang kalau disia-siakan.

Maka muncullah para pelopor seperti dai muda di atas, yang membacakan ayat dan hadits sebelum kita menjalankan tarawih. Kita jadi makin banyak dan sering mendapatkan penjabaran atas hal-hal yang selama ini barangkali tidak sempat kita dengar.

Sekarang kegiatan ini sudah berjalan lebih dari dua generasi. Saya yakin ceramah sebelum tarawih ini punya andil yang besar dalam membangkitkan kembali syiar Islam hingga seperti yang kita lihat sekarang ini.

Setelah berlangsung selama puluhan tahun ini, tentunya sudah muncul generasi muda yang dari awal dia bertarawih tahunya memang ada ceramahnya. Ceramah sudah dianggap bagian integral dari tarawih. Bahkan mungkin dianggap wajib. Seolah tak sah tarawih kalau tidak ada ceramahnya. Padahal sejatinya, ceramah sebelum tarawih ini adalah sesuatu yang baru, tanpa contoh dari Nabi saw.

Jadi apakah ceramah seperti ini bidah dan harus dibuang? Saya pribadi melihatnya begini. Tak pelak lagi, ceramah ini dalam sejarahnya punya jasa dalam membangkitkan kembali kita dari keadaan jumud. Tak bisa disangkal juga bahwa ceramah ini, sekarang pun masih merupakan kesempatan untuk tetap menjaga umat dalam lingkungan dakwah. Namun kita tetap harus menekankan bahwa ceramah seperti ini tidak wajib, bukan keharusan, dan orang boleh meninggalkannya.

Penekanan dan pengingatan seperti ini yang perlu terus disampaikan. Jangan sampai nanti nasibnya seperti tahlilan, dzikir berjamaah sesudah shalat, atau melafazkan niat shalat dengan redaksi tertentu, yang kesemuanya pada awalnya tampaknya merupakan rintisan baik para ulama, tapi beberapa generasi kemudian dipandang sebagai ritual wajib dalam beribadah. Semoga kita tetap ingat tentang ini.

Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar