Kamis, 27 Desember 2012

Mengucapkan selamat Hari Natal: sebuah cerita dan renungan

Tanggal 25 Desember 2012 membuat saya teringat akan peristiwa yang saya dengar beberapa tahun lalu. Tokohnya adalah Pak A, muslim, seorang duta besar kita di sebuah negara Eropa. Kemudian Pak B, kristiani, seorang kolonel, atase militer kita di kedutaan tsb.

Ceritanya, menjelang akhir tahun, Pak A seperti biasa mengirimkan kartu ucapan selamat kepada para staffnya, termasuk Pak B ini. Tapi kali ini, Pak A, menulis "Selamat Tahun Baru" saja, tanpa "Selamat Hari Natal". Ini membuat Pak B naik pitam. Dikabarkan bahwa Pak B mendatangi ruangan Pak A, menggebrak mejanya, dan mengkritiknya sebagai tidak toleran.

Terlepas dari sejauh mana detail ceritanya benar, peristiwa ini mencuatkan pertanyaan menarik: Manakah di antara kedua jenis manusia ini yang tidak toleran? Yang tidak bersedia mengucapkan selamat Natal? Atau yang tidak bisa menerima bahwa orang lain tidak mau mengucapkan selamat Natal?

Harus diakui, di antara umat Islam Indonesia ada dua kelompok dalam hal ucapan selamat Natal. Kelompok pertama berpendapat, bahwa mengucapkan selamat Natal bertolak berlakang dengan prinsip kaidah Islam, dan karenanya tidak boleh dilakukan. Kelompok kedua berpemikiran bahwa ucapan selamat Natal adalah bagian dari rasa saling menghormati antar umat manusia, tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam, dan karenanya bukan hanya ok-ok saja, tetapi malah dianjurkan.

[Sebenarnya ada kelompok ketiga yang boleh jadi merupakan mayoritas, yaitu yang tidak peduli dengan hal ini, tidak pernah merasa perlu membahas ini, dan tidak melihat manfaat buat kehidupan mereka sehari-hari jika berdebat soal ini.]

Menurut hemat saya, kedua kelompok harus mengakui keberadaan kelompok lain, dan menghormati pendapat masing-masing. Usaha untuk mempengaruhi kelompok lain tentu wajar, dan sudah menjadi naluri manusia, tetapi tentunya dengan adu argumentasi, bukan dengan saling mencibir. Ketika yang satu mencerca "Kalian merusak kaidah agama!" dan yang lain menghina "Kalian tidak toleran!", hanya mudharat yang akan keluar.

Tentunya keberadaan kedua kelompok ini harus diakui, dan dihormati pula, oleh umat lain. Memaksa orang lain untuk mengucapkan selamat kepada kita sendiri, tentunya bukan bagian dari toleransi.

Wallahu'alam.

Selasa, 13 November 2012

Mencari kepuasaan dunia 5

[... sambungan]

Lantas, haruskah aku berdoa agar bisa mendapat mobil super ini. Hm, aku mulai merenung. Selama ini aku sudah mengejar kepuasan demi kepuasan. Ketika aku sampai di satu level, aku pikir tujuanku telah tercapai, dan tidak perlu yang lebih daripada itu. Tetapi ternyata, selalu ada level lain di atasnya, yang mensirnakan rasa puasku.

Entah di mana semua level ini berujung. Jangan-jangan tidak ada akhirnya.

Kalau aku punya supercar, jangan-jangan aku nanti iri sama yang punya jet pribadi. Jangan-jangan aku malu kalau tetap harus antri check-in dan boarding di bandara, sementara yang punya pesawat pribadi berjalan lewat sambil tersenyum sinis.

Terus kalau aku punya pesawat pribadi? Mungkin tetap minder sama yang punya airlines sendiri ... roket antariksa ... dst. ... dst. ...

Mungkin sudah saatnya untuk menikmati dan mensyukuri apa yang sudah aku dapat. Percuma kalau aku punya sesuatu tapi tidak bisa menikmatinya. Tampaknya definisiku tentang bahagia harus diubah, dari "memiliki sesuatu" menjadi "bisa menikmati apa yang sudah dimiliki".

[selesai]

Senin, 12 November 2012

Mencari kepuasaan dunia 4

[... sambungan]

Tampaknya aku beruntung. Sebuah sedan 3600 cc sekarang menjadi milikku. Mobil yang bisa menyalip semua yang lain di jalan tol. Mobil yang membuat satpam dan tukang parkir mengeluarkan senyum palsunya. Mobil yang pantas diparkir di hotel bintang lima, mall kelas satu, dan perkantoran ternama.

Tentu saja sekarang aku punya supir. Tempat nongkrongku pun sudah pindah ke cafe, terutama yang duduk-duduk di luar menikmati udara senja.

Mobilku? Ya parkir berderet bersama mobil sesamanya. Dan di sinilah aku mulai melihat, biarpun mobilku keren, dia tetap hanya satu dari sekian banyak model yang sama. Mobilku tetap saja adalah produk massal, bukan sesuatu yang istimewa.

Orang-orang di cafe tidak akan memperhatikan mobilku. Kalaupun iya, hanya melirik sebentar, lantas sibuk lagi dengan minuman, bacaan, atau obrolannya.

Lain kalau yang datang parkir itu Ferrari, Lamborghini, atau Aston Martin. Semua mata langsung beralih ke sana. Semua menanti siapa yang keluar dari supercar ini. Kemudian semuanya saling berbisik "Eh, itu si itu, si ini."

Wah benar-benar jadi perhatian, dan seolah-olah orang bicara tentang manusia dari level yang berbeda. Sedan 3600 cc-ku mengalami degradasi yang mematikan.

Minggu, 11 November 2012

Mencari kepuasaan dunia 3

[... sambungan]

Pelan-pelan tetapi ada hal yang menggangguku. Di jalanan, aku banyak diklakson mobil lain dari belakang. Aku dianggap terlalu pelan, dan menghambat kendaraan lain untuk melaju.

Ya mau gimana, mobilku cc-nya kecil, tenaga kudanya sedikit. Tidak bisa melaju super kencang. Apalagi di jalan mendaki dan berkelok-kelok.

Aku mulai merasa terhina ketika di jalan tol tampaknya semua mobil lain menyalipku. Ketika mereka lewat, raungan mesin mereka seolah-olah meledek: "Selamat tinggal Keong Pelan! Coba susul kalau bisa!"

Aku mulai malu kalau bawa mobil kecilku ke mall, gedung bertingkat, atau lobby hotel. Para satpam di gerbang tampak tersenyum-senyum kalau memeriksa mobilku. Beda sekali dengan sikap hormat mereka ketika mendapati sedan mentereng.

Yang paling menyedihkan ketika harus parkir. Malu rasanya kalau harus parkir di antara dua mobil mewah, atau di deretan mobil-mobil mahal. Kalau melihat mobilku ada di situ, kontras sekali. Orang bisa berpikir: "Orang udik mana nih yang nyasar ke sini?"

Sekali lagi aku melamun, alangkah bangganya kalau aku punya mobil mewah dan keren. Sedan 3000cc lah, atau SUV yang gagah dan disegani. Akan hilang semua kehinaan dan permaluan yang aku alami.

Sabtu, 10 November 2012

Mencari kepuasaan dunia 2

[... sambungan]

Tetapi kebahagiaanku tak berlangsung lama. Di jalan aku mulai merasakan betapa banyaknya asap knalpot yang aku hirup. Betapa bahayanya aku ketika di kiri kanan terjepit mobil-mobil besar. Dan ketika hujan, motorku harus menyerah, demi kesehatan badan, dan demi keawetan motor itu sendiri.

Aku juga merasa bahwa aku tidak bisa bawa banyak barang dengan motor. Apalagi kalau bawa istri dan anak, tak ada lagi kenyamanan di jalan.

Aku mulai iri pada yang punya mobil. Mereka tetap bisa jalan biarpun hujan; tetap bisa ngadem biarpun panas terik, berkat AC; bisa mengangkut banyak orang dan barang tanpa harus desak-desakan.

Sekali lagi harapanku terkabul. Kini aku punya mobil, kecil tapi bisa muat 6 atau bahkan 7 orang. Biarpun 1000cc, masih handal untuk jalan jauh, bahkan mudik lintas pulau pun ok. Hujan panas tak lagi jadi rintangan.

Belanja pun bukan masalah. Bagasi mobilku muat banyak barang. Kalau isteri beli jemuran pun, masih muat. Pokoknya, dunia baru lah. Selamat tinggal parkiran motor!

Jumat, 09 November 2012

Mencari kepuasaan dunia 1

Aku pulang pergi kerja naik kendaraan umum. Bukan karena suka, tapi karena terpaksa. Terpaksa untuk menerima segala akibatnya. Mulai dari berdesak-desakan, kepanasan, berdiri hingga berjam-jam. Belum dihitung risiko kecopetan, dioper, dan berbaur dengan segala macam bau keringat orang.

Karena itu mimpiku sederhana saja: sebuah motor bebek. Sebuah kendaraan yang sederhana tapi bisa membebaskanku dari semua siksaan ini. Dengan motor aku bisa pergi ke mana saja, pake rute apa aja, dan jam berapa aja.

Syukurlah, doaku terdengar olehNya. Kini sebuah skuter mengantarku ke mana-mana. Tak ada lagi ngejar-ngejar bus, nunggu kopaja ngetem lama, atau kebingungan ketika malam terlalu larut sampai tak ada angkot yang lewat.

Jumat, 12 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 8

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

8. Makmum
Seperti sudah disebut sebelum ini, sudah menjadi kewajiban makmum untuk mengikuti imam. Dalam hal makmum masbuk (terlambat) sering kita lihat bahwa makmum lihat-lihat dan pilih-pilih kapan dia mulai mengikuti imam.

Biasanya dia memilih untuk masuk barisan ketika imam berdiri di rakaat baru. Dia enggan bergabung di saat ruku, itidal, atau sujud. Dia merasa rugi kalau melakukan rukun shalat tetapi tidak dihitung rakaat. Dia melihat shalat dari perhitungan untung rugi.

Dia lupa bahwa gerakan dan bacaan shalat bukanlah hal yang sia-sia. Semuanya ada manfaatnya. Harusnya dia malah senang karena bisa membaca beberapa doa lebih banyak daripada biasanya.

Begitu juga di luar shalat. Ada individu yang pikir-pikir, lihat-lihat, atau ngitung-ngitung sebelum bergabung ke barisan umat. Menyedihkannya, jika setelah lihat-lihat, dia tidak merasa sreg, dia malah membuat barisan sendiri.

Persis seperti sebagian makmum yang lebih memilih membentuk jamaah baru daripada bergabung ke jamaah yang sudah ada.

Senin, 08 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 7

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

7. Makmum
Sudah menjadi kewajiban makmum untuk mengikuti imam; tentunya selama imam melakukan rukun shalat dengan benar. Konsekwensinya: makmum tidak boleh mendahului imam, tidak boleh shalat dengan rukun yang berbeda.

Sayangnya terkadang kita lihat makmum yang misalnya sudah mulai ruku sebelum imam. Mungkin si makmum ingin terlihat bahwa dia kenal surat yang dibaca imam, dan tahu kapan akhir suratnya. Dia lupa bahwa shalat bukanlah sarana pamer.

Ada juga makmum yang terlihat yakin bahwa imam setelah rukun yang satu, akan melakukan rukun yang lain. Makmum seperti ini terlihat dari gerakannya yang cepat, dan sudah bergerak sebelum imam sempurna menyelesaikan rukunnya.

Dia mungkin lupa bahwa imam bisa jadi akan baca qunut, kalau dianggap perlu, atau langsung sujud setelah membaca ayat sajdah.

Kalau makmum yang tidak sinkron biasanya terjadi di sujud terakhir. Ada yang punya agenda sendiri, dan sujud lebih lama. Tampaknya karena dia menggunakan kesempatan itu untuk membaca doa pribadinya.

Untungnya yang sujud menyendiri ini tidak banyak. Bayangkan kalau semua makmum sujud akhir sendiri-sendiri, ada yang sebentar, lama, lebih lama, lebih lama lagi ... Di mana berjamaahnya?

Yang agak lebih banyak adalah makmum yang "ngotot" menyelesaikan bacaan shalat. Maksudnya, ketika imam pindah rukun, makmum belum selesai dengan bacaannya. Si makmum, bukannya mengikuti imam, malah menghabiskan dulu bacaan, dengan terburu-buru, baru kemudian mengejar ketinggalannya. Dia lupa bahwa sudah menjadi tugas imam untuk mewakili makmum, dan kita tinggal mengikutinya.

Bagaimana di luar shalat? Ya tampaknya tidak jauh beda. Kita tidak senantiasa seiring dengan pemimpin. Ada di antara kita yang merasa lebih handal daripada pemimpin, atau di lain pihak sok merasa yakin apa maunya pemimpin. Di sisi lain adapula yang melangkah berbeda, tidak sejalan dengan pemimpin.

Benar bahwa pemimpin bisa keliru, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk mengingatkannya, serta pemimpin wajib mengkoreksi kesalahannya. Sama seperti di dalam shalat.

Ok, harus diakui, keadaan di luar shalat bisa lebih rumit dan tidak sejelas rukun shalat. Tetapi mudah-mudahan, kalau kita di dalam shalat makin kompak, di luar shalat pun demikian.

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 6

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

6. Makmum
Sebelum ini sudah kita bahas masalah pentingnya merapatkan shaf shalat. Alhamdulillah, ini sudah makin diperhatikan, dan kita lihat bagaimana imam mengingatkan makmumnya tentang ini.

Sayangnya, tidak jarang rapatnya shaf hanya muncul di rakaat pertama saja. Ketika kita berdiri di rakaat kedua, kita merasa sudah ada celah di antara bahu kita dan bahu makmum sebelah. Dan sudah ada jarak pula di antara jari kaki kita dengan jari kaki kawan sebelah. Kaki yang di rakaat pertama masih merenggang keluar, sekarang sudah menciut ke dalam.

Ini mungkin gambaran kekompakan kita sebagai umat: tidak persisten. Kita hanya erat bersatu di awal-awal saja, ketika baru diingatkan. Setelah itu kita kembali menjadi individu-individu yang tidak peduli dengan persatuan umat.

Barangkali ada baiknya imam, sebelum shalat, menegaskan bahwa rapatnya shaf harus dijaga hingga ke rakaat terakhir. Kalau ini bisa dicapai, mudah-mudahan menjadi pembuka jalan bagi persistensi kekompakan umat.

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 5

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

5. Makmum
Nabi memerintahkan agar makmum membuat shaf yang rapat. Ini mencegah munculnya penggoda yang bisa mengisi celah di antara kita, dan membuat shalat tidak khusyu.

Dalam prakteknya, ini adalah hal yang akut di Indonesia. Orang tampak seolah merasa tidak nyaman kalau bersentuhan dengan makmum sebelahnya. Bahkan, antar sajadah pun suka diberi jarak, padahal sajadah sudah lumayan lebar.

Walhasil ini sangat jauh dari apa yang diajarkan Nabi.

Boleh jadi ini mencerminkan sikap kita terhadap sesama umat Islam. Kita enggan merapatkan barisan, masing-masing merasa lebih nyaman dengan diri sendiri, kekompakan kita rapuh, dan kita sangat mudah diselipi pihak yang memang lebih senang jika kita tidak bersatu.

Sudah sangat sering didengungkan pentingnya persatuan umat, kekompakan pengikut Nabi, ukhuwah Islamiyah. Tampaknya, untuk menuju ke arah sana kita juga harus memulai dari rapatnya shaf shalat kita

berlanjut

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 4

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

4. Imam
Ada trend membaik belakangan ini: sebelum shalat, para Imam mengingatkan perlunya merapatkan dan meluruskan shaf. Ada juga yang menambahkan anjuran untuk mematikan handphone.

Sebagian imam lain tapi tetap di tradisi lama: setelah qamat, langsung saja ke tempat imam. Paling ngelirik dikit ke belakang, tanpa komentar apa-apa. Begitu saja.

Begitu juga para pemimpin kita. Begitu berada di depan, seperti tak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Baru kalau mau ada pemilihan lagi, turun langsung ke pasar, sok ngobrol sama orang di pinggir jalan, pura-pura bincang-bincang dengan rakyat kecil. Setelah itu? Mana mau panas-panasan masuk ke gang sempit ...

Sudah waktunya mengubah kebiasan ini.

berlanjut

Jumat, 05 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 3

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

3. Imam
Bolehkah makmum bersungut-sungut tentang imam? Harusnya tidak. Makmum harusnya ikhlas dengan imamnya.

Tapi memang terkadang, menggerutui imam tak terhindarkan. Misalnya karena imam shalatnya luar biasa panjang, seperti tidak peduli bahwa di antara makmum mungkin ada yang sedang tidak begitu fit, jadi tidak tahan berdiri lama-lama. Atau ada yang sudah berumur sehingga hanya bisa ruku sebentar. Atau ada yang sedang cape banget, hingga perlu segera istirahat.

Ini misalnya muncul karena imam membaca surat yang panjang, atau banyak ayat. Ini sangat akut ketika Pak Imam melantunkan surat dan ayat itu dengan melodi tertentu yang mau tak mau membuat para makmum jadi berpikir: "Ini Pak Imam mau pamer bisa ngaji, atau apa?" Hilang deh khusyu, makmum harus nahan pegel, sambil sedikit ngedumel.

Ini juga dunia para pemimpin kita. Sebagian tampak seolah tidak peduli dengan keadaan rakyatnya. Selama dia masih merasa enak makan, enak tidur, enak di jalan, tak ada terpikir apakah rakyat merasakan hal yang sama. Sebagian malah mungkin lebih senang melantun, melagu, dan berkaraoke daripada introspeksi apakah rakyat sudah puas dengan dia.

berlanjut

Kamis, 04 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 2

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

2. Imam
Imam adalah pemimpin. Sebagai pemimpin dia memberikan contoh atau teladan. Tidak heran kalau dalam shalat berjamaah kita mencontoh atau mengikuti gerak-gerik imam.

Sayangnya, terkadang ada imam yang tidak memberi teladan di satu hal: bersegera ke mesjid. Di sebagian mesjid, jamaah sengaja tidak memuai shalat karena menunggu imam. Dan ada imam yang tampaknya menikmati privilege ini. "Ah santai aja ke mesjidnya, toh ditungguin ini."

Ini juga terjadi di luar shalat. Para pemimpin kita seolah tak merasa perlu memberikan teladan. Apakah itu dalam hal hidup sederhana, naik kendaraan umum, berbaur dengan masyarakat, dsb. Mereka seolah berpandangan: "Aku udah di posisi istimewa, punya hak-hak istimewa, ngapain lagi mesti susah-susah kayak rakyat kecil? Pemimpin harus hidup beda dong dibanding rakyat."

Tampaknya itulah profil imam dan pemimpin kita. Menyedihkan? Ya.

berlanjut

Rabu, 03 Oktober 2012

Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 1

Kalau dipikir-pikir, cara kita shalat berjamaah sebenarnya mencerminkan kondisi kita sebagai sebuah kelompok. Mari kita lihat beberapa aspeknya.

1. Imam
Idealnya, yang jadi imam itu yang paling dalam ilmu agamanya, yang paling bagus bacaan shalatnya, yang paling mengerti adab menjadi imam. Kenyataannya, yang jadi imam ya yang memang biasa jadi imam. Kalau tidak ada dia, ya kita lihat-lihat yang penampilannya paling ok. Kita lihat pecinya lah, baju kokonya, janggutnya, atau surbannya.

Nah dalam memilih pemimpin, kitapun cenderung begitu. Harusnya kita pilih tokoh yang handal, piawai, cerdas, bijaksana, dan beribu sifat baik lainnya. Dalam prakteknya, kita suka-suka cuma melihat apakah si calon berasal dari keluarga yang biasa memimpin, apakah dia keturunan pemimpin, atau apakah dia punya trah pemimpin. Kalau kriteria itu tidak masuk, kita lihat penampilannya: tampangnya, cara senyumnya, caranya berpakaian, dsb.

Dengan cara memilih seperti itu, tidak heran kalau para pemimpin kita hanya terdiri dari dua jenis: pertama, yang nama belakangnya sama atau mirip dengan tokoh zaman dulu; kedua, artis.

berlanjut

Selasa, 02 Oktober 2012

Khutbah mubazir (6)

Khutbah tentunya diisi dengan ayat dan hadits dalam bahasa Arab. Tujuan utamanya bukan untuk memperlihatkan bahwa khatib bisa berbahasa Arab, tetapi untuk selalu menunjukkan ayat dan hadits dalam teks aslinya.

Tapi terkadang kita juga dengar khutbah dengan dipenuhi bahasa Inggris. Self management lah, way of life lah, spiritual quotience, dsb. dsb. Ini mungkin karena khatibnya terlalu lama mondok di Inggris, atau dia merasa khutbahnya jadi keren dan berkelas kalau ditaburi istilah-istilah asing.

Jamaah pun terbagi dua: ada yang bingung gak ngerti, dan akhirnya gak nangkep; ada juga yang terpaksa senyum-senyum dalam hati sambil berpikir: "Ah temen gua yang kuliah tahunan di Inggris aja nggak sampe seheboh gitu ..."

Jadi Pak Khatib, bicara pakai bahasa biasa saja deh ya Pak, bahasa yang bisa kami fahami. Kami ingin isi khutbah Bapak, bukan mendengar orang pamer kemampuan berbahasa.

Khutbah mubazir (5)

Salah satu fenomena di saat khutbah adalah jamaah yang ngantuk, melamun, atau tidak konsens. Ini terutama kalau khutbahnya monoton, tidak menarik, terlalu panjang, terlalu lama, atau tidak jelas isinya.

Sebagian khatib menggunakan kiat ini untuk menghadapi itu: bicaranya pelan dan lembut, tapi tiba-tiba keras dan meledak-ledak. Kemudian lembut lagi, dan keras lagi, dst.

Dalam beberapa khutbah, kiat ini berhasil. Misalnya ketika khatib menggambarkan lembutnya Nabi, kemudian disusul dengan bagaimana tegasnya beliau pada kaum musyrik.

Di beberapa khutbah lain tapi ini jadi lucu. Misalnya ketika nada keras ini muncul di saat bahasan tentang berapa besaran zakat pertanian untuk sawah tadah hujan. Tidak nyambung. Jamaah mungkin akan berpikir: "Lebay nih khatib."

Sebenarnya gonta-ganti nada ini tidak akan perlu kalau khutbahnya ringkas, tidak bertele-tele, dan isinya menyentuh jamaah. Khutbah seperti ini akan didengar dan diresap, tanpa Pak Khatib harus berbicara seperti pembaca puisi.

berlanjut

Jumat, 28 September 2012

Khutbah mubazir (4)

Kita terkadang mendapatkan khatib yang menyampaikan khutbah dari buku. Buku tinggal dibeli dari toko, khatib tinggal baca satu bab, dan sisanya buat khutbah berikutnya. Praktis, tidak repot.

Problemnya, isi khutbah suka-suka tidak nyambung dengan apa yang perlu didengar jamaah. Misalnya, baru saja RT sebelah tawuran dengan RT tetangganya, tapi khatib dengan tenangnya berbicara tentang keutamaan shalat malam.

Bukan berarti shalat malam tidak penting, tapi tawuran antar warga gara-gara hal sepele adalah bentuk kezhaliman antar umat. Pemuka agama perlu mengingatkan warganya akan mudharatnya bentrokan seperti itu. Jika tidak dibahas, jamaah mendapat kesan bahwa agama tidak ada kaitannya dengan itu, agama tidak punya solusi untuk itu, pesan agama menjadi tak ada aplikasinya untuk hal sehari-hari, agama hanya ada di awang-awang, tidak membumi.

Contoh lain, baru saja diberitakan media bahwa Kementrian ABC masuk top ten dalam hal penyelewengan anggaran. Tema khutbah di kantor ABC? Adab membaca Quran.

Hebat, ketika uang rakyat dicuri tiap hari di sana (penggembungan anggaran, kuitansi akal-akalan, pemakaian fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, dsb.), khatib seolah menganggap bahwa agama tak perlu peduli dengan semua itu.

Contoh lain, yang selalu ada tiap tahun, adalah pada saat khutbah 'Idl Fitri yang dihadiri pejabat pemerintah; apakah itu presiden, gubernur, bupati, dsb. Banyak khatib jadi merasa wajib untuk bicara tentang "pembangunan". Dan ini adalah bagian yang paling membosankan buat jamaah. Bukan hanya karena kata-katanya "tingkat tinggi" alias susah dicerna, jamaah pun bertanya: Apa hubungannya sama saya? Apa aplikasinya di perilaku saya sehari-hari?

Walhasil khutbah-khutbah seperti ini mubazir, karena tidak kena ke kebutuhan real jamaah. Baik kebutuhan yang mereka sadari, maupun kebutuhan yang harus diingatkan kepada mereka.

Jadi para khatib yang terhormat, khutbahilah kami dengan apa yang akan kami perhatikan. Jejeli kami dengan apa yang akan membuat kami menjadi rahmat bagi sekeliling kami.

berlanjut

Rabu, 26 September 2012

Khutbah mubazir (3)

Kita terkadang melihat ada spanduk dibentang di depan kelurahan, kantor camat, bupati, atau gedung pemerintah lainnya. Adakah kita ingat isi-isinya? Boleh jadi tidak. Mengapa? Barangkali karena bunyinya seperti ini: "Dengan semangat Sumpah Pemuda mari kita tingkatkan persatuan dan kesatuan".

Kalimatnya baik, isinya bagus, bahasanya tidak keliru. Tapi mengapa kita tak pernah "nangkep" isinya? Malah membacanya saja ogah.

Kalimat di atas adalah contoh dari apa yang kita sebut "kalimat kosong", tidak ada isinya, kita tidak merasa tersapa oleh kalimat itu, kita tidak tahu apa maunya kalimat itu, kita tidak tahu hal konkret apa yang diminta oleh spanduk itu.

Walhasil, slogan-slogan tadi mubazir. Hanya buang-buang materi saja.

Di dalam khutbah pun kita tidak jarang mendengar kalimat seperti ini. Contohnya: "Mari kita tingkatkan iman dan takwa kita kepada Allah swt.", "Kita harus senantiasa menjunjung tinggi rasa cinta kita kepada Rasulullah.", "Ayo tegakkan terus ukhuwah islamiyah.", dsb.

Mengapa kalimat-kalimat di atas kosong padahal isinya benar? Karena pendengarnya tidak diberi tahu bagaimana dia konkretnya meningkatkan keimanan, tindakan nyata apa yang bisa menunjukkan kecintaan atas Nabi, kegiatan real apa yang mempererat ukhuwah.

Lain kalau khatib berucap: "Pak, kalo shalatnya masih suka sendiri, coba deh mulai bareng berjamaah sama yang lain.", atau "Bapak cinta Nabi? Ayo buktikan, contohi beliau, ayo shalat di awal waktu!", "Masa Bapak marahan sama yang baca usholi? Dia kan shalat. Apa nggak mendingan marahan sama yang nggak shalat?", dsb. Kalimat-kalimat seperti ini enak. Jamaah tahu apa yang harus dilakukan.

Jadi Pak Khatib, tolong beri kami hal yang konkret. Jangan yang kosong. Kalimat kosong lebih parah daripada krupuk. Krupuk, biarpun isinya angin, masih enak dimakan.


berlanjut

Khutbah mubazir (2)

Cerita yang bagus hanya memiliki satu kisah. Kalaupun ada kisah-kisah sampingan di dalammya, itu hanya cerita-cerita kecil yang menyertai kisah utama, dan berfungsi untuk makin menegaskan inti cerita.

Begitu pula khutbah. Khutbah yang bagus hanya memiliki satu inti pesan. Mungkin ada bumbu-bumbu yang menyertainya, tetapi pendengar akan menangkap apa inti pesan sang khatib.

Sayangnya terkadang khatib lupa hal ini. Awalnya dia bertutur tentang A, dan jamaah memahaminya. Tetapi kemudian, pembicaraan berlanjut ke masalah Z. Pesan A yang sudah mulai mengendap di qalbu jamaah, tergeser oleh Z, dan sedikit demi sedikit menghilang. Ini karena pesan Z terlalu cepat datang, di saat pesan A belum terpatri kokoh.

Keadaan makin kacau jika khatib malah menambah tema lain lagi. Lengkap sudah kebingungan jamaah. Awalnya dinasihati tentang ciri-ciri dosa besar, disambung dengan perjuangan umat Islam di Palestina, kemudian ditutup dengan adab membaca al-Quran.

Pesan mana yang masuk? Mungkin malah tak satupun. Mirip dengan orang yang disuapi makan. Ketika porsinya pas, itu akan membuatnya sehat. Tetapi jika "dijejelin" terus, mungkin semuanya malah akan dimuntahkan.

Jadi wahai para khatib, beri kami satu tema saja. Kalau Pak Khatib punya dua tema, sisakan buat khutbah berikutnya. Khutbah adalah sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada jamaah, bukan ajang unjuk kepiawaian.

berlanjut

Selasa, 25 September 2012

Khutbah mubazir (1)

Masalah yang barangkali sering muncul adalah bahwa khatib tampak seperti lupa waktu. Bahasa kerennya: tidak punya management waktu.

Manusia memiliki batasan berapa lama dia masih bisa konsentrasi mendengarkan sesuatu. Di atas limit ini, dia tidak akan menangkap tambahan informasi; malah, informasi yang sebelumnya sudah ditangkap, bisa jadi hilang.

Ada yang bilang limit ini di kisaran 20 menit. Besaran persisinya pasti berbeda untuk masing-masing orang. Tapi saya pikir 20 menit ini bisa jadi acuan buat khatib. Jika khatib bicara melewati limit ini, yang akan disampaikan bisa terbuang percuma. Malah ada risiko yang sudah dipaparkan sebelumnya jadi terpupus. Tidak heran kalau Nabi diriwayatkan hanya berkhutbah seperlunya saja: ringkas.

Masalahnya terkadang pembukaan khatib saja sudah 10 menit sendiri. Entah kenapa bershalawat saja bisa luar biasa lama. Kemudian ada kesan, sebagian khatib "gengsi" kalau khutbahnya pendek. Ini terlihat akut terutama di khutbah 'Id. Khatib seolah-olah merasa wajib membacakan khutbah berlembar-lembar. Pendengar khutbah jadi bertanya-tanya: ini mau beribadah dengan cara Nabi atau cari gengsi?

Mudah-mudahan para khatib bisa lebih memilih khutbah yang ringkas tapi melekat di hati kita, dibanding yang lama tapi tidak terserap oleh kita dan terbuang percuma.

berlanjut

Khutbah mubazir (0)

Khutbah Jumat, begitu juga khutbah 'Id, adalah sarana yang ideal untuk senantiasa mengingatkan umat atas ayat al-Quran dan hadits Nabi. Sayangnya, tidak jarang kesempatan ini terbuang percuma: apa yang disampaikan khatib tidak "nyangkut" di para pendengarnya. Khutbah menjadi mubazir.

Tentu ada beberapa penyebabnya, misalnya keadaan si pendengar, atau suasana di tempat khutbah. Tidak kalah menentukannya adalah faktor sang khatib sendiri.

Di sini, dan di posting selanjutnya, kita akan membahas beberapa contoh, bagaimana khatib menyia-nyiakan peluang untuk menyampaikan khutbah secara efektif, atau malah membuatnya mubazir. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

berlanjut

Rabu, 15 Agustus 2012

Menyaksikan lahir dan berkembangnya bidah

Saya berada di bangku SD di tahun 1970-an. Di bulan puasa, saya terbiasa shalat tarawih di surau dekat rumah. Jumlahnya 23 rakaat, dan dilaksanakan langsung setelah shalat sunnah bada Isya.

Entah di tahun 70-berapa, saya lupa, muncullah seorang da’i muda. Dia aslinya dari dekat surau juga, pergi kuliah di IAIN Bandung, bahkan kemudian bisa menjadi dosen di sana. Dia membawa sesuatu yang baru buat kami penduduk kampung. Pertama, bahwa Nabi shalat tarawih jauh lebih sedikit, hanya 8 rakaat. Kedua, dia mempelepori adanya ceramah sebelum shalat tarawih di surau kami.

Pembaruan yang dia bawa tentu tidak begitu saja diterima. Pertama, dia harus meyakinkan bahwa dalil tentang 8 rakaat itu lebih kuat. Kedua, bahwa ceramah sebelum tarawih itu perlu dan membawa maslahat.

Saya teringat, waktu itu syiar Islam tidak semeriah sekarang. Hanya orang kampung yang mengucapkan assalamu ‘alaikum. Hanya perempuan desa yang mengenakan kerudung, dan itupun sekedar selendang yang dibelitkan di kepala. Hampir tak ada bangunan masjid di sekolah-sekolah, di kantor pemerintah, apalagi di kantor polisi atau markas tentara. Bagian agama di toko buku hanya berisi tata cara shalat, kumpulan khutbah Jumat, atau jampi-jampi mujarobat yang dipercaya bisa menghilangkan pelbagai penyakit. Islam seolah tereduksi ke shalat dan puasa saja, tanpa aplikasi lain di kehidupan sehari-hari. Bahkan shalat dan puasa pun tampak seperti kegiatan orang udik saja, bukan aktifitas orang kota, terpelajar, atau modern.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kita semua masih anak sekolah

Saya punya anak yang masih duduk di bangku SMP. Saya lihat sebenarnya dia punya bakat untuk unggul di kelas, tapi tidak jarang dia ngeluh soal belajar. Macam-macam lah keluhannya. Ada saja yang dia bilang.
“Mengapa sih harus belajar ngitung KPT (kelipatan persekutuan terkecil)? Buat apa dipelajari kalau nggak jelas untuk apa nanti gunanya?”
“Mengapa sih harus ada ulangan, tes, ujian? Itu kan nyiksa, bikin stress …”
“Kenapa sih tiap hari harus bangun pagi buta, terus  ke sekolah? Apa nggak ada cara lain untuk bikin anak lebih bahagia?”
“Kenapa sih aku harus belajar lagi di rumah? Tuh anak-anak tetangga pada boleh main di jalanan …”

Maunya dia, tentunya belajar harus santai. Jadwalnya dia nentuin sendiri. Nggak ada tes, nggak ada ujian, ngga ada ulangan. Nggak ada PR, nggak ada tugas, dan semacamnya. Maunya dia, dia boleh baca komik Jepang semaunya. Nggak diabatasi. Terus juga boleh surfing di internet semaunya, juga nggak dibatasi.

Tentu sebagai orang tua, saya tidak setuju dengan permintaannya. Meski sadar bahwa sekolah itu bisa membuat cape, terkadang malah stress, kita tahu bahwa anak perlu pendidikan. Dan mendidik tentunya bukan membiarkan dia santai atau mengerjakan apa maunya. Harus ada tempaan, latihan, kerajinan, disiplin, dan hal-hal lain yang sepintas tampak berat, tetapi memang sebenarnya perlu demi masa depannya.

Kalau dipikir-pikir, ini sebenarnya mirip dengan yang kita alami dalam beragama.
Kita terkadang merasa berat dengan kewajiban ini-itu. Shalat yang 5 waktu lah, puasa yang sebulan lah, berzakat lah, dsb. Mengapa sih agama kok jadi beban?
Kita juga terkadang merasa dikekang. Kok kita diharamkan ini-itu sih? Apa nggak bisa diizinin aja? Memang apa jeleknya? Orang lain boleh, dan mereka kelihatannya baik-baik saja …
Dan ada beberapa hal yang kita tidak mengerti. Seperti kenapa sih kalo kentut harus wudhu lagi, emang kentut ngotorin apa? Mengapa shalat harus menutup aurat, bukannya Tuhan bisa melihat apa saja?
Dan yang suka didambakan: Mengapa ibadah tidak diserahkan ke kita saja? Toh kita sudah percaya ada Tuhan, yakin Dia itu sayang sama makhlukNya, dan kita sudah berlaku baik ke sesama. Jadi nggak usah ada lagi harus ini-itu, waktunya ditetapin kapan dan kapan, ritualnya harus begini-begitu …

Kalau sudah begini, kita persis mirip anak sekolah kan. Banyak keluhan, kemalasan, dan mempertanyakan. Kita seperti anak sekolah yang tidak sadar pentingnya pendidikan sebagai bekal bagi masa depan; kita tidak sadar pentingnya ibadah sebagai persiapan bagi masa depan kita, yaitu kehidupan di akhirat nanti.

Jumat, 03 Agustus 2012

BBM-an di saat khutbah

Setiap perintah atau larangan agama tentunya ada maksud dan tujuannya. Ada yang hikmahnya mudah terlihat, misalnya perintah menyantuni orang miskin, atau larangan mencuri; ada juga yang maknanya belum bisa kita cerna.

Larangan bagi makmum untuk bercakap-cakap di saat khutbah Jumat, termasuk kelompok yang pertama. Jelas, tujuannya agar kita menyimak apa yang disampaikan khatib. Sayangnya, sebagian dari kita merasa tidak apa-apa untuk melakukan ini di saat khatib berada di mimbar: kirim dan baca BBM, sms, whatsapp, atau chat jenis lain.

Ada baiknya kita pikirkan lagi apakah kita rela menggugurkan shalat Jumat kita demi aktifitas seperti itu.

Minggu, 29 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 3/3

[sambungan]

3. Bulan Ramadhan juga melahirkan sebuah tradisi: buka bersama. Sejatinya ini adalah suatu yang hal positif. Orang bisa bersilaturahmi, kemudian melakukan ibadah secara berjamaah. Tetapi yang kita lihat, terutama di mall atau restoran, program makan-makan menjadi acara utama. Shalat maghrib, yang jelas wajib, bukan bagian dari agenda, malah menjadi terlewat. Dan ketika acara makan dan ngobrol berlangsung lama, orang kemudian merasa sudah terlalu ngantuk dan capai untuk tarawih.
Walhasil, ada kewajiban yang diterlantarkan, dan ada peluang ibadah yang terbuang percuma.

Ketiga contoh di atas menunjukkan bagaimana masih jauhnya kita dari makna yang seharusnya dipetik dari Ramadhan. Maka bokeh jadi benarlah sabda Nabi bahwa banyak yang puasa tetapi hasilnya hanya haus dan lapar, tidak ada yang lain.
Sudah saatnya kita keluar dari golongan “banyak” ini.

Sabtu, 28 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 2/3

[sambungan]

 2. Bulan Ramadhan adalah juga sarana mengintensifkan ibadah. Tetapi tampaknya kita keliru menyamakan “intensif” itu dengan “ramai”, bukan “giat”. Kita lihat misalnya shalat tarawih. Jelas, masjid-masjid di bulan Ramadhan menjadi lebih ramai. Orang berbondong-bondong menunaikan ibadah tarawih. Yang kita lihat lagi adalah bagaimana para imam memimpin shalat dengan kecepatan luar biasa. Surat al-Fatihah dibaca dengan kecepatan turbo: dari awal hingga akhir dalam satu tarikan nafas, tanpa jeda di antara ayat-ayatnya. Kemudian perpindahan gerakan pun tidak kalah cepatnya. Makmum jumpalitan untuk bisa mengimbangi sang imam, tanpa sempat membaca bacaan shalat. Apalagi menghayati isi dan maknanya.

Pengeras suara di mesjid pun ramai saling bersahutan. Seolah-olah masjid saling berlomba untuk melihat siapa yang paling ramai dan paling cepat selesai.

Shalat adalah dialog antara kita dengan Allah. Begitukah kita melakukan percakapan dengan Pencipta kita? Dengan teriak-teriak dan tergopoh-gopoh?

[bersambung]

Jumat, 27 Juli 2012

Kehilangan makna Ramadhan 1/3

1. Bulan Ramadhan adalah saat kita menahan diri dari makan dan minum. Tetapi paradoksnya, justru konsumsi makanan di bulan puasa bisa jadi lebih banyak daripada di bulan-bulan lain. Kita lihat hidangan-hidangan lezat bermunculan di bulan puasa. Kemudian beberapa harga bahan makanan malah meningkat, yang menunjukkan naiknya permintaan di pasar. Pasar dan swalayan malah jadi makin ramai, apalagi menjelang lebaran.

Dengan kata lain, kita hanya menahan diri di siang hari, tetapi melampiaskan diri di saat lainnya. Jadi volume konsumsi kita sebenarnya tetap (atau malah meningkat) hanya jadwalnya saja yang berubah. Sarapan atau makan siang bergeser ke sahur, makan malam ke maghrib.

Ramadhan sebagai wahana latihan menguasai diri, tampaknya menjadi terlewatkan. Kita tetap tidak bisa menahan diri, menahan emosi, atau menahan amarah.

[bersambung]

Rabu, 25 Juli 2012

Keburukan muslim Indonesia: shaf shalat renggang

Nabi memerintahkan kita untuk merapatkan shaf di saat shalat. Entah kenapa, kita umat Islam Indonesia malas melaksanakan ini. Padahal ini termasuk perintah yang sangat gampang dilakukan. Cukup bergeser agar badan kita rapat ke jamaah yang lain. Tidak harus lari-lari, mengeluarkan harta, dsb.

Kita lihat di banyak mesjid, para jamaah berdiri dengan jarak tertentu ke jamaah sebelahnya. Seolah-olah ogah atau tabu untuk menempel ke badan dia.

Lebih menyedihkan lagi kalau kita bawa sajadah. Sajadah yang lebar ini membuat kita memiliki jarak dengan teman di sebelah. Dan paling menyedihkan kalau para jamaah membawa sajadah masing-masing, dan menaruhnya dengan jarak tertentu ke sajadah sebelahnya. Sudah renggang karena lebar sajadah, ditambah renggang pula oleh jarak antar sajadah.

Saya pernah shalat berjamaah bersama komunitas Bosnia, Turki, Arab, atau bercampur dengan muslim lain dari Kosovo, Mauritania, dll. Dan memang, kita kalah jauh dari mereka. Buat sebagian dari mereka, saling menempel saja belum cukup, tapi sudah harus mirip berdesak-desakan. Bahu menempel bahu, kelingking kaki menempel kelingking kaki.

Ada perkembangan bagus di tanah air. Para imam mulai mengingatkan mamum untuk merapatkan shaf. Sayangnya terkadang tidak jelas, bagaimana cara rapatnya. Ada yang geser ke kiri, ada yang ke kanan. Ujung-ujungnya tetap ada celah. Yang dari belakang mau mengisi celah yang di depan jadi ragu kalau celahnya terlihat terlalu sempit.

Barangkali ada baiknya mengusulkan para jamaah agar mengambil mamum sebelah kanannya sebagai patokan. Selama kita tidak nempel ke mamum sebelah kanan, kita harus geser ke arah dia. Kalau semua bergeser seperti ini, tempat kosong akan muncul di paling kiri. Baru di sini mamum yang dari belakang maju ke depan. Dan seterusnya.

Selasa, 24 Juli 2012

Rukya, Hisab, dan Konsitensi 2/2

[sambungan]

Biki, di pihak lain, percaya penuh bahwa pergerakan bumi, bulan, dan matahari sudah bisa dihitung. Ilmu astronomi, bagi Biki, sudah lama mampu menentukan kapan bulan baru muncul, kapan matahari berada di atas ubun-ubun, kapan dia tenggelam, dan kapan fajar mulai menyingsing. Perhitungan, menurut Biki, tidak tergantung pada keadaan cuaca mendung, hujan, gelap, dan terlepas dari subjektifitas pengamatan panca indra. Karena itu Biki tidak merasa bermasalah dengan menggunakan kalender dan jadwal shalat untuk menentukan ritme ibadahnya.

Siapa yang benar, Amir atau Biki?
Boleh jadi dua-duanya. Karena masing-masing memiliki dasar yang mereka pegang teguh

Bagaimana dengan kita?
Kemungkinan kita bukan di pihak yang benar. Mengapa? Karena kita tidak konsisten, alias plin-plan. Kita membedakan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dari yang lain. Di sini kita hanya sreg dengan rukya. Tapi untuk penentuan nisfu sya'ban, 10 Dzulhijjah, hari-hari tasyrik (dan tanggal lain seperti 1 Muharram, 17 Rabi'ul-awal, dsb.) kita oke-oke saja dengan kalender. Untuk 'Idl-Adha malah kita merasa aneh kalau beda dengan di Mekkah, tapi untuk puasa tidak merasa janggal jika berbeda dengan Saudi Arabia.

Malah, setelah ber-rukya untuk penentuan 1 Ramadahan, kita beralih ke "jadwal imsakiah" untuk menentukan buka puasa. Jadwal ini jelas hasil hitungan, bukan pengamatan mata. Bukan hanya itu, sering kita malah mengandalkan adzan dari tv atau radio untuk mulai buka puasa. Siapa jamin bahwa stasiun tv/radio melantunkan adzan pada saat yang tepat? Begitu juga adzan di mesjid, yang juga mengandalkan jadwal, siapa jamin bahwa jam di mesjid akurat?

Dan jujur saja, ketika kita kembali ke hari-hari biasa, kita akan lihat jadwal shalat untuk menentukan kapan kita akan mulai shalat.
Atau adakah di antara kita yang mengecek letak matahari di atas kepala, atau memeriksa panjang bayangan kita?

Amir dan Biki, dua-duanya boleh jadi benar. Biarpun berbeda, mereka konsiten.
Kita ... tampaknya hanya memilih-milih apa yang kita sukai.

Senin, 23 Juli 2012

Rukya, Hisab, dan Konsistensi 1/2

Setiap tahun kita memiliki satu ritual yang selalu berulang: berselisih soal penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Satu pihak menentukan terlihatnya bulan baru berdasarkan pengamatan mata (rukya); pihak lain mengandalkan perhitungan astronomi (hisab). Terkadang temuan kedua pihak cocok, tapi tidak jarang juga berbeda. Masing-masing bersikukuh bahwa metodenya yang (paling) benar.

Mari kita namakan perwakilan dari kedua kubu ini Amir dan Biki.

Amir mengandalkan rukya karena ingin mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Rukya dilakukan Amir bukan hanya menjelang Ramadhan dan Syawal, tapi juga menjelang bulan-bulan lain: seperti Dzulhijjah, untuk menentukan 'Idl-Adha di tanggal 10 bulan itu, dan hari-hari tasyrik sesudahnya; serta menjelang Sya'ban, untuk menentukan pertengahan bulan yang disebut nisfu sya'ban.

Bukan hanya itu, Amir menentukan saat waktu dhuhur dengan benar-benar memeriksa apakah matahari sudah benar-benar di atas kepala. Kemudian memeriksa apakah bayangan benda sudah sama panjang dengan tinggi benda itu; ini untuk menentukan waktu ashar. Juga melihat apakah matahari sudah menghilang di balik ufuk; ini untuk menentukan waktu maghrib. Bahkan untuk penentuan awal shubuh, alias batas akhir sahur, Amir menggantung benang hitam dan putih di kamar gelap untuk melihat apakah mata telanjang sudah bisa membedakan keduanya.

Amir mengakui, bahwa terkadang metodenya tidak jalan: misalnya ketika hari mendung, sedang hujan, awan gelap menutupi langit, atau ketika dia pindah dari ruangan terang ke ruangan gelap. Pengamatan matanya akan terganggu. Tetapi Amir yakin, itulah juga yang dialami Nabi dan para sahabatnya di zaman dulu; dan dia ingin meneladaninya.

[bersambung]

Minggu, 22 Juli 2012

Shalat sebagai doa 3/3

[sambungan]

Kurangnya kita sadar bahwa shalat itu doa, terkadang membuat kita mengambil kesimpulan bahwa hanya ada dua tempat untuk berdoa: ketika sujud akhir, dan setelah salam.

Tak heran kalau kita lihat ada orang yang sujud akhirnya lama sekali. Tapi bisa mengherankan kalau dia lebih khusyu di sujud itu daripada di saat baca al-Fatihah atau bacaan tahiyat. Juga mengherankan kalau di shalat berjamaah ada mamum yang masih sujud sementara imam sudah di tahiyat akhir. Kita lupa bahwa mamum harus mengikuti imam.

Doa sesudah shalat. Ini memang dianjurkan. Tetapi seperti kasus di atas, kadang-kadang orang lebih khusyu di acara doa ini daripada di shalatnya sendiri. Boleh jadi malah acara doa ini, dengan wirid dan shalawat sebelumnya, lebih lama dan intensif daripada shalatnya.

Mudah-mudahan renungan ini bisa mengingatkan kita:
- bahwa shalat adalah sarana meminta;
- ketika meminta, tentunya kita melakukannya dengan sungguh-sungguh dan penuh harap;
- tentunya kita tidak akan menomer-duakan sarana utama dengan malah memprioritaskan sarana tambahan.

Sabtu, 21 Juli 2012

Shalat sebagai doa 2/3

[sambungan]

Sering kali kita tidak menyadari adanya doa-doa tadi.

Pertama, mungkin karena kita tidak tahu makna dari apa yang kita baca. Bagi kita al-Fatihah dan bacaan lainnya tak lebih dari sesuatu yang wajib dilafazhkan, sesuatu yang harus dibaca agar kita merasa shalat kita jadi sah.

Yang kedua, kita sering lupa bahwa di dalam shalat kita meminta sesuatu. Sering kita lihat shalat itu sebagai sebuah kegiatan rutin belaka, dengan bacaan yang sudah dipatok.

Yang ketiga, dan ini boleh jadi yang paling bahaya: Kita tidak merasa perlu mengajukan permintaan itu. Mengapa ini bahaya? Berperasaan seperti ini menyiratkan bahwa kita sudah menganggap diri kita cukup, mapan, kaya, benar, bersih,  tak berdosa, ... sehingga tidak perlu apa-apa lagi dari Sang Khaliq.
Na'udzubillah min dzalik.

[bersambung]

Jumat, 20 Juli 2012

Shalat sebagai doa 1/3

Di dalam shalat, ada beberapa permintaan yang kita tujukan kepada Allah.

Pertama, setiap kali kita berdiri dan membaca al-Fatihah, kita minta ditunjuki ke jalan yang lurus: shirat al-mustaqim.

Kedua, ketika duduk di antara dua sujud. Kita mengajukan banyak permintaan: mulai dari minta ampun, petunjuk, hingga rezeki.

Setelah itu, di tahiyat awal, kita mohon salam, rahmat, dan barakah untuk Nabi. Ini adalah wujud kecintaan kita kepada beliau.

Masih di tahiyat awal, kita juga minta salam untuk diri sendiri. Dan karena kita juga makhluk sosial, juga untuk semua yang beribadah dengan shalih.

Di tahiyat akhir, kita mohon lagi shalawat dan barakah untuk Nabi dan keluarganya.

Terakhir, di bagian salam, kita memohonkan salam dan rahmat untuk semua yang berada di sebelah kanan kita, dan tak lupa juga untuk semua yang berada di sebelah kiri kita.

Kalau kita lihat, cukup banyak permintaan kita di setiap shalat. Ada yang untuk diri sendiri, untuk Nabi, keluarga beliau, semua pihak yang beribadah dengan shalih, dan akhirnya untuk semua di sekeliling kita.

[bersambung]

Kamis, 19 Juli 2012

Daftar Renungan

Shalat sebagai doa (1/3)
Shalat sebagai doa (2/3)
Shalat sebagai doa (3/3)
Rukya, Hisab, dan Konsistensi (1/2)
Rukya, Hisab, dan Konsistensi (2/2)
Keburukan muslim Indonesia: shaf shalat renggang
Kehilangan makna Ramadhan (1/3)
Kehilangan makna Ramadhan (2/3)
Kehilangan makna Ramadhan (3/3)
BBM-an di saat khutbah
Kita semua masih anak sekolah
Menyaksikan lahir dan berkembangnya bidah
Khutbah mubazir (0)
Khutbah mubazir (1)
Khutbah mubazir (2)
Khutbah mubazir (3)
Khutbah mubazir (4)
Khutbah mubazir (5)
Khutbah mubazir (6)
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 1
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 2
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 3
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 4
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 5
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 6
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 7
Shalat berjamaah, cermin umat Islam Indonesia 8
Mencari kepuasaan dunia 1
Mencari kepuasaan dunia 2
Mencari kepuasaan dunia 3
Mencari kepuasaan dunia 4
Mencari kepuasaan dunia 5
Mengucapkan selamat Hari Natal: sebuah cerita dan renungan
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 1 (sabun & odol)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 2 (membukukan Al-Quran)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 3 (pengacara)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 4 (tasbeh)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 5 (celana panjang)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 6 (korupsi)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 7 (penutup)
Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan (tambahan)
Membaca lafazh tak paham arti
Tradisi khas umat Islam Indonesia 1: sarung dan peci
Tradisi khas umat Islam Indonesia 2: puji-pujian