Senin, 01 April 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan (tambahan)

Harus diakui, banyak dari kita yang senang dengan long weekend, atau hari kejepit. Akhirnya ada hari panjang di mana kita bisa santai bersama keluarga, atau apa lah, terlepas dari pekerjaan.

Tapi ngomong-ngomong: konsep hari libur ada di Al-Quran nggak? Apakah Al-Quran menyebutkan bahwa orang boleh berlibur setelah bekerja beberapa hari? Rasanya jawabannya tidak. Malah di hari Jumat, yang sekarang jadi hari libur di beberapa negeri Muslim, Al-Quran menyebutkan agar kita menyebar ke penjuru bumi untuk mencari rezeki setelah selesai shalat Jumat.

Benar, Al-Quran ada menyebut larangan beraktifitas di hari Sabtu, dan mengisahkan bagaimana Allah mengazab sekelompok manusia karena melanggar larangan ini. Tapi ini berlaku buat umat Yahudi.

Tak pelak lagi, konsep hari libur memang sebenarnya sesuatu yang kita import dari luar. Tidak usah jauh-jauh, buyut-buyut kita yang petani, nelayan, atau pedagang, tidak mengenal libur. Mereka akan bertani, berkebun, menangkap ikan, atau berjualan, tiap hari, jika memang cuaca mengizinkan atau sedang tidak sakit.

Yang memiliki hari libur dari dulu memang umat Yahudi. Bukan karena mereka tidak mau bekerja di hari Sabbat, tetapi karena tidak boleh. Itu pegangan keyakinan mereka. Hari Sabtu sungguh begitu dikeramatkan sampai-sampai ada yang berkeyakinan bahwa menolong orang yang terperosok ke lubang yang dalam, jika itu terjadi di hari Sabtu, dilarang.

Tampaknya konsep hari suci ini kemudian diadopsi umat Kristen, dengan memilih hari Minggu sebagai hari di mana orang pergi ke gereja, memperbanyak ibadah, dan meninggalkan pekerjaan. Dahulu hari Minggu dipersembahkan untuk Dewa Matahari. Orang Romawi menyebutnya dies Solis (hari matahari), orang Inggris Sunday, orang Belanda zondag, orang Jerman Sonntag, dsb. Para Bapak Gereja mencoba menghilangkan nuansa paganisme ini dengan mempopulerkan hari Minggu sebagai "hari Tuhan". Muncullah istilah Dies Domini dalam bahasa Latin, yang dengan makna yang sama berlanjut ke domenica di bahasa Italia, Dimanche di bahasa Perancis, dan domingo di bahasa Spanyol/Portugis (yang lari ke kata minggu yang sekarang kita gunakan ...).

Ketika Eropa memasuki era industri, dengan munculnya kelas buruh dan pekerja, orang Eropa mencetuskan konsep libur di hari Minggu, dengan tujuan agar orang-orang konsentrasi beribadah. Pengecualian diberikan kepada umat Yahudi, di mana mereka boleh libur di hari Sabtu. Dalam perjalanan waktu, kedua hari ini menjadi libur di beberapa bidang usaha.

Sekarang kembali ke kita. Banyak dari kita menikmati libur di Sabtu dan Minggu. Baik sebagai karyawan, pegawai, mahasiswa, atau pelajar. Apakah ini tasyabbuh?

Kamis, 14 Februari 2013

Tradisi khas umat Islam Indonesia 2: puji-pujian

2. Puji-pujian di antara adzan dan qamat

Waktu saya pertama kali shalat di mesjid RS Muhammadiyah Bandung, saya kaget. Setelah adzan selesai, qamat langsung dikumandangkan. Orang langsung mulai shalat berjamaah. Tampaknya di sana orang sangat memperhatikan bahwa shalat harus disegerakan, tanpa ditunda-tunda.

Ini membuat saya di shalat berikutnya menjadi bersegera. Begitu adzan terdengar, saya langsung ambil air wudhu, dan bergegas ke mesjid di RS ini. Ini karena saya tahu bahwa qamat akan langsung menyusul, dan shalat segera dimulai. Kalau tidak bergegas, ada kemungkinan masbuq.

Ini beda sekali dengan di kampung asal saya. Di antara adzan dan qamat bisa ada jeda sekitar lebih kurang 15 menit. Dan di jeda ini muncul tradisi pelantunan apa yang kita sebut "puji-pujian".

Puji-pujian ini semacam tembang, dengan ritme dan melodi tertentu. Liriknya bisa bahasa Sunda, Jawa, Melayu, atau campur. Temanya macam-macam: bisa shalawat atas Nabi, nasihat, wejangan, pengingat, hingga ke hafalan asmaul-husna atau rukun agama.

Karena sering kali berkumandang, orang mudah mengingatnya. Dan mudah pula untuk mewariskannya dari generasi ke generasi.

Dari mana asal-muasal tradisi ini? Boleh jadi awalnya, ketika orang menunggu imam datang, ada yang bershalawat, mengaji, atau melantunkan bacaan-bacaan yang pernah dipelajari dari ustadz, kiai, pesantren, dsb. Lama-kelamaan ada yang melakukannya bersama, hingga akhirnya seisi mesjid ikut melakukannya.

Tentu tradisi ini memiliki aspek positifnya, karena banyak pesan agama yang menjadi mudah diingat. Di sisi lain, juga memang tidak membuat orang bersegera melakukan shalat. Ketika adzan berkumandang, orang mungkin berpikir, ah masih ada puji-pujian, santai aja, gak bakal ketinggalan berjamaah.

bersambung

Senin, 11 Februari 2013

Membaca lafazh tak paham arti

Suatu sore sesudah maghrib saya berjalan pulang. Dari mesjid terdekat terdengar suara orang berdzikir. Lumayan kencang karena pakai pengeras suara.

Tetapi tunggu ... kok yang terdengar itu bunyi "laa ilaah", "laa ilaah", dan "laa ilaah". Saya yakin si pendzikir pasti mengucapkan juga "illallaah". Hanya saja begitu pelan dan tidak terdengar. Jadinya yang menggaungkan ke seluruh penjuru kampung adalah ucapan "laa ilaah".

Sadarkah si pendzikir bahwa orang sedang mendengar dia meneriakkan "tidak ada tuhan", "tidak ada tuhan", "tidak ada tuhan"?

Kemungkinan tidak, karena bukan rahasia lagi bahwa kita sering melantunkan sebuah lafazh tanpa pernah mencoba tahu apa maknanya. Kita merasa cukup untuk bisa menghafalnya, dan merasa mendapat pahala ketika membacanya.

Contoh lain adalah sebagian muadzin kita. Lafazh "hayya 'alash-shalah" dan "hayya 'alal-falah" terkadang terdengar "hayya laa shalah" atau "hayya lal-falah". Perbedaan di satu huruf ini tentu saja sangat mendasar, karena seruan "mari menuju shalat" dan "mari menuju kemenangan" bisa menjadi berbunyi lain. Kata "menuju" ('alaa) berubah menjadi "laa" yang berarti "tidak", "tidak ada", atau "jangan".

Tampaknya sudah saatnya kita sedikit-sedikit mencoba memahami apa yang kita baca. Kalau tidak, kita tanpa sadar malah melantunkan kebalikan dari apa yang kita niatkan.

Rabu, 06 Februari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 7

[... sambungan]

Di depan kita sudah melihat beberapa contoh yang, menurut saya, menunjukkan bahwa tema tasyabbuh harus dibahas hati-hati. Maksudnya: tidak serta merta mencap "tasyabbuh" segala apa yang berasal dari tradisi non-Muslim, atau yang kelihatannya seperti itu.

Sabun dan odol sudah menjadi bagian dari kita sehari-hari; sudah tak kita sadari kadar "luarnya". Al-Quran yang kita miliki di rumah, atau kita bawa ke mana-mana, dalam hal fisiknya memiliki kadar "peniruan" dari umat lain. Begitu juga tasbeh yang menjadi asesoris sebagian dari kita, adalah "jiplakan" dari umat lain. Kemudian kita juga lihat bahwa peranan pengacara adalah hal yang sama sekali baru di dunia hukum umat Islam.

Ada pula hal yang lebih rumit daripada kelihatannya: celana panjang misalnya. Kita sangka itu tradisi sebuah umat, padahal itu memiliki sejarah yang tidak pendek, dan tidak mudah lagi untuk mengatakan itu adalah "ciri khas" sebuah kaum tertentu. Dan akhirnya kita lihat pula bahwa dalam hal tertentu kita tampaknya memang harus menjiplak orang lain, seperti dalam hal pemberantasan korupsi, kebersihan, ketertiban, dsb.

Adakah contoh-contoh lain? Tentu saja. Sebagai penutup, kita ambil satu saja: mesjid. Di zaman Nabi saw. mesjid itu hanya berdinding, tanpa atap. Gereja atau sinagog memiliki atap; sebagian gereja memiliki kubah yang boleh jadi adalah cikal bakal kubah-kubah mesjid kemudian. Apakah memberikan atap atau kubah kepada mesjid adalah tasyabbuh?

Selasa, 05 Februari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 6

[... sambungan]

6. Di depan sudah kita lihat bagaimana Pak Ustadz kita menyebutkan "apapun" yang datang dari luar sebagai tasyabbuh. Pertanyaannya, bagaimana kalau hal dari luar itu lebih bagus? Apakah tidak boleh ditiru juga?

Contoh yang menarik adalah korupsi. Sudah sangat jelas bahwa negara-negara yang paling tidak korup adalah negeri-negeri non-muslim, seperti negara-negara Skandinavia, Singapura, atau Jepang. Sementara posisi umat Islam seperti kita di Indonesia berada di level memalukan.

Apakah meniru negara-negara "kafir" itu di dalam mencegah, memerangi, dan menindak korupsi termasuk tasyabbuh?

Juga dalam hal kebersihan, kedisiplinan, kepatuhan hukum, ketertiban, dsb. Apakah meniru Jerman atau Swiss dalam hal ini termasuk tasyabbuh juga?

Kamis, 31 Januari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 5

[... sambungan]

5. Saya pernah mendengar ada kritikan terhadap celana panjang. Ini dikatakan termasuk tasyabbuh, dan merupakan penjiplakan identitas umat Nasrani.

Benarkah celana panjang itu tradisi Nasrani?

Ketika Kekaisaran Romawi berkuasa, mode pakaian pria adalah tunika, atau kain terusan, atau juga semacam jubah. Pakaian para tentara Romawi malah lebih mirip rok. Mode ini berlanjut hingga ke masa awal munculnya agama Nasrani, terus ke zaman Nasrani menjadi agama negara di wilayah Romawi, dan bahkan ketika kemudian Romawi pecah menjadi wilayah barat dan timur. Ketika Islam muncul, mode pakaian umat Nasrani tetap seperti itu, tanpa perubahan yang gradual.

Lantas siapa yang menyebarkan celana panjang? Jawabannya adalah bangsa Germania. Mereka adalah cikal bakal utama dari apa yang kita sebut sekarang orang Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, atau Swiss. Para penggemar komik Asterix barangkali akan segera teringat bahwa orang Gaul, orang Goth, orang Swiss, atau orang Inggris, memang digambarkan memakai celana panjang; sementara orang Romawi mengenakan semacam rok, baik itu budak, pelayan, pegawai, prajurit, panglima, hingga ke kaisarnya.

Orang Germania ini bagi orang Romawi adalah barbar, tidak berperadaban, dan tak perlu ditiru budayanya, termasuk cara berpakaiannya. Bagi umat Nasrani mereka adalah kafir, tak beragama, dan perlu dibaptis.

Ketika suku-suku Germania dikristenkan, cara berpakaian orang Nasrani tidak mereka adopsi, justru celana panjang mereka yang menjadi tersebar. Tapi harus diakui ini prosesnya panjang. Hingga ke abad ke-18 celana panjang adalah pakaian golongan bawah seperti pekerja, buruh, pedagang, atau pemilik warung makan. Golongan atas dan bangsawan merasa tabu memakai itu; standard mereka adalah celana hingga ke lutut (istilahnya culotte, dan karenanya lawan mereka dari golongan bawah di saat di revolusi Perancis dijuluki sans-culotte).

Kini kita lihat bahwa model celana panjang sudah mendunia ke pelbagai penjuru bumi, termasuk dunia umat Islam. Celana panjang sudah menjadi standard untuk tentara, pekerja tambang, pilot, pemadam kebakaran, dsb. Tak terbayangkan bahwa profesi seperti ini bisa efektif tanpa celana panjang.

Sedikit hati-hati juga bisa ditunjukkan pada kritik atas pemakaian celana panjang oleh kaum wanita. Mengklaim bahwa ini murni penjiplakan dunia Barat bisa dipertanyakan. Kita lihat bahwa kelompok etnis tertentu di Cina dan India sudah mengenal celana panjang sejak zaman dulu, jauh sebelum wanita Eropa.

Selasa, 29 Januari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 4

[... sambungan]

4. Ada sebagian dari kita yang suka bawa tasbeh ke mana-mana. Ini terkadang dianggap sebagai ciri dari orang yang alim dan shaleh, karena dia berusaha berdzikir kapan dan di mana pun.

Tradisi membawa tasbeh ini ada di pelbagai penjuru umat Islam di dunia. Tapi ada satu hal yang kurang diketahui: tasbeh bukanlah penemuan umat Islam; kita justru mencontohnya dari para biksu Buddha. Kemungkinan dimulai ketika Islam mulai menyebar ke Asia Tengah. Kita memodifikasinya sehingga jumlah bulir di tasbeh cocok dengan bilangan di dzikir.

Apakah ini tasyabbuh?

Kisah tasbeh ini masih ada lanjutannya. Di abad pertengahan umat Katolik mencontoh ini dari umat Islam, dan memodifikasinya untuk keperluan doa mereka, serta menambahkan salib di simpulnya. Maka muncullah apa yang kita kenal sebagai rosario.

Menarik untuk melihat bagaimana satu umat mengadopsi tradisi umat lain, dan kemudian ada umat lain lagi yang memperpanjang proses adopsinya.

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 3

[... sambungan]

3. Sekarang mari kita bayangkan kita didakwa di pengadilan. Ada jaksa yang menuntut kita, ada hakim yang memimpin persidangan dan nantinya memberikan putusan, dan ada pembela yang berusaha meringankan kita dari segala hukuman atau malah membebaskan.

Dunia hukum formal sudah begitu rumit sehingga orang awam tidak mungkin lagi mengenal seluk beluknya smapai mendalam. Di sini seorang pengacara menjadi sangat berguna. Pengetahuan dia tentang hukum diharapkan bisa menunjukkan sejauh mana tuntutan jaksa memang berlandasan, dan apakah kita sebagai terdakwa memiliki peluang untuk membela diri.

Kalau kita pelajari sejarah dunia yuridis umat Islam, sebenarnya peranan pembela tidak dikenal. Tidak ada bahasan tentang "pengacara" di kajian para ahlulfiqh dari masa klasik umat Islam. Pembela, pengacara, atau advokat adalah sesuatu yang kita contoh dari dunia Barat.

Tapi sekarang profesi ini sudah menjadi begitu akrab dengan kita. Malah kita tidak asing lagi dengan yang namanya Tim Pembela Muslim.

Apakah memasukkan peranan pembela di dunia hukum ini termasuk tasyabbuh?

Sabtu, 26 Januari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 2

[... sambungan]

2. Mari beralih ke yang lebih "berat". Pada zaman Nabi, Al-Quran tidak dibukukan, tapi dihafalkan. Kalaupun ada catatan-catatan berisi ayat Al-Quran, bentuknya terpencar-pencar, dan mediumnya tidak seragam: ada tulang, kayu, kain, dsb. Perlu dicatat bahwa pada saat itu umat Yahudi dan Nasrani secara umum sudah mengkodifikasi kitab suci mereka. Taurat, dan naskah Ibrani lainnya, disimpan dalam bentuk gulungan; Injil, atau barangkali tepatnya "injil- injil", serta naskah Nasrani lainnya, biasa ditulis di lembaran-lembaran papirus.

Riwayat menyebutkan bahwa ketika Khalifah Utsman hendak mengkodifikasi Al-Quran, sempat muncul tantangan karena ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun akhirnya kehendak Utsman terlaksana; Al-Quran dimushafkan. Bentuknya tidak gulungan seperti naskah Taurat, tetapi lembaran seperti kebiasaan Nasrani.

Apakah memushafkan Al-Quran ini termasuk tasyabbuh?

Beberapa abad kemudian, ketika umat Islam sudah terbiasa membukukan Al-Quran, Johann Gutenberg menciptakan mesin cetak. Tidak lama setelah itu umat Nasrani mulai beralih dari menyalin kitab suci  ke mencetak.

Bagaimana dengan umat Islam?
Kita perlu waktu agak lama hingga akhirnya terbiasa dengan Al-Quran cetakan, yang salah satunya ada di rumah kita.

Apakah mencetak Al-Quran tasyabbuh?

Sekarang bagaimana di zaman digital?
Lagi-lagi kita pun berada di posisi meniru. Ketika umat lain sudah menyimpan kitab sucinya dalam bentuk dan medium digital, umat Islam baru belakangan mencontoh ini.

Apakah ini juga tasaybbuh?

Rabu, 23 Januari 2013

Tasyabbuh, beberapa hal untuk didiskusikan 1

Beberapa hari lalu saya menghadiri sebuah pengajian keluarga. Tuan rumah meminta Pak Ustadz untuk membahas tasyabbuh. Ustadznya masih muda; kalau saya tidak salah dengar, pernah belajar di Libia; dan kelihatan cerdas. Tema tasyabbuh dikuasainya dengan mantap.

Pak Ustadz membeberkan bagaimana beberapa ritual ibadah kita sudah diselimuti tasyabbuh, dan apa pesan Nabi tentang tasyabbuh. Suatu hal yang saya sependapat penuh.

Pak Ustadz juga memberikan contoh kegiatan tasyabbuh lain:perayaan tahun baru, berunjuk rasa, dan debat terbuka. Menurut beliau semua ini adalah peniruan kita atas kebiasaan kaum lain, yang membawa mudharat.
Contoh pertama saya masih bisa ikuti. Contoh lainnya saya pikir bisa diperdebatkan.

Tapi sayangnya Pak Ustadz punya jadwal acara lain, harus langsung pergi setelah membawakan tausiyyah. Jadi tidak ada acara diskusi, tanya jawab, atau pendalaman lebih lanjut. Padahal saya ingin sekali mendapat pencerahan tentang apa saja sih yang boleh disebut tasyabbuh. Saya penasaran tentang ini karena Pak Ustadz memasukkan "apapun" kebiasaan-kebiasaan yang tidak berasal dari Islam sebagai tasyabbuh.

1. Mari kita ambil contoh dari kebiasaan kita sehari-hari: gosok gigi pakai odol, dan mandi pakai sabun. Tak bisa disangkal bahwa Nabi sangat menganjurkan menggosok gigi, dan Islam sangat menekankan kebersihan badan, termasuk mandi. Tetapi odol, dalam bentuk yang kita kenal sekarang, dan sabun dalam bentuk yang kita pakai sehari-hari (batang, ataupun cair) adalah hal yang kita tiru dari kaum lain.

Apakah odol dan sabun ini masuk kategori "apapun"?

Selasa, 22 Januari 2013

Tradisi khas umat Islam Indonesia 1: sarung dan peci

Saya bukan orang yang sering bepergian. Tidak begitu banyak negeri yang pernah saya kunjungi. Tetapi alhamdulillah, semasa mahasiswa, saya diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan muslim dari pelbagai penjuru dunia. Ada dari Bosnia, Iran, Kosovo, Malaysia, Mauritania, Mesir, Turki, Yordania, dsb.

Dari berbagai pertemuan, diskusi, ngobrol, pengamatan, shalat berjamaah, atau belajar bersama, ada hal-hal yang menjadi jelas bagi saya bahwa itu cuma ada di muslim Indonesia, atau paling banter di kawasan Asia Tenggara.

Ada hal yang sudah kita sangka sebagai ritual yang dilakukan semua muslim di dunia, padahal tidak; tapi ada pula yang memang kita sadari sebagai kegiatan unik kita. Ada yang kita tahu itu bidah, tapi ada pula yang kita sangka merupakan ajaran murni agama Islam.

Tulisan ini mencoba mendata hal-hal seperti itu.

1. Sarung dan peci

Di sekitar tahun 1920an pernah diperdebatkan di tanah air apakah sah shalat laki-laki jika memakai celana panjang. Dari sudut pandang sekarang tentu pertanyaan ini lucu; tapi bagi kakek-kakek kita dulu ini adalah masalah serius.

Sampai sekarang pun sebagian lelaki masih merasa lebih sreg shalat dengan sarung dan peci, apalagi jika shalat di mesjid dan shalat hari raya. Saya pun masih merasa seperti ini.

Peci model Indonesia kemungkinan berasal dari Asia Selatan. Bisa Pakistan, India, atau Bangladesh. Meski muslim Turki atau muslim Cina juga punya semacam peci, tapi versi Turki lebih tinggi, dan versi Cina lebih rendah, lebih ke arah pecinya orang Uzbekistan.

Menariknya, kita terkadang menyebut peci itu kopiah. Tentunya ini berasal dari kata Arab "kafiyah" yang memang tutup kepala, tapi bentuknya ya jauh beda.

Kalau sarung, dengan corak khas garis melintang dan mendatar, agak lebih sulit mencari asal-usulnya. Ini bisa berasal lagi dari Asia Selatan, tapi bisa juga dari wilayah Hadramaut. Kita tahu orang Bangladesh suka bersarung, begitu juga orang Rohingya. Di lain pihak sebagian orang Yaman, malah juga Somalia, juga bersarung.

Terlepas dari mana asalnya yang asli, kombinasi peci dan sarung telah menjadi ciri khas muslim Indonesia, atau Asia Tenggara.